Di tengah kesibukan hidup, hampir setiap orang pernah merasakan betapa beratnya stres. Ada yang merasakannya sebentar, ada juga yang merasa seolah-olah stres itu tak pernah pergi. Dari pekerjaan yang menumpuk hingga hubungan pribadi yang terkadang tak berjalan mulus, semua itu bisa menjadi sumber stres yang datang begitu saja tanpa peringatan. Mungkin Anda pernah merasakannya juga, atau bahkan sedang menghadapinya saat ini. Saat jantung berdegup kencang, napas terasa sesak, dan tubuh mulai terasa lelah, kita sering berpikir, "Apakah ini normal?" atau "Apakah ini akan merusak kesehatan saya?"
Namun, tahukah Anda bahwa pandangan kita terhadap stres bisa mempengaruhi bagaimana tubuh kita meresponnya? Apa yang selama ini kita yakini sebagai musuh utama kesehatan kita, ternyata bisa memiliki sisi lain yang sangat berguna bagi tubuh kita. Ini adalah cerita tentang bagaimana kita bisa memandang stres dengan cara yang berbeda, dan bagaimana pemahaman ini bisa membawa kita untuk hidup lebih sehat dan lebih bahagia. Mari kita simak bagaimana cara kita berpikir tentang stres bisa mengubah cara tubuh kita menghadapinya.
Tahun lalu, banyak orang merasakan stres dalam hidup mereka. Mungkin Anda salah satunya. Stres yang datang dari pekerjaan, ujian, atau bahkan hubungan dengan orang lain, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Banyak yang merasa stres itu adalah sesuatu yang harus dihindari, dianggap sebagai musuh yang dapat merusak tubuh dan pikiran. Namun, apakah benar bahwa stres selalu buruk bagi kesehatan?
Selama bertahun-tahun, seorang psikolog kesehatan, yang telah berkarier lebih dari 10 tahun di bidang ini, mengajarkan bahwa stres adalah musuh yang harus dihindari. Stres dianggap bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, dari flu biasa hingga penyakit jantung. Namun, setelah lama mengajarkan pandangan tersebut, sang psikolog mulai meragukan apa yang telah dia ajarkan. Apakah stres benar-benar berbahaya seperti yang selama ini diyakini?
Sang psikolog mulai memikirkan kembali pendekatannya setelah membaca sebuah penelitian yang cukup mengejutkan. Penelitian ini melibatkan lebih dari 30.000 orang dewasa di Amerika Serikat selama 8 tahun. Para peneliti mengajukan dua pertanyaan: "Seberapa sering Anda merasa stres dalam setahun terakhir?" dan "Apakah Anda percaya bahwa stres berbahaya bagi kesehatan?" Kemudian, mereka melacak para peserta melalui registrasi kematian publik untuk melihat siapa yang meninggal selama periode tersebut.
Hasilnya mengejutkan. Orang-orang yang mengalami stres dalam jumlah banyak dan percaya bahwa stres berbahaya memiliki risiko kematian yang lebih tinggi---hingga 43 persen lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak terlalu merasakan stres. Namun, ada hal menarik di sini: orang-orang yang merasa banyak stres tetapi tidak percaya bahwa stres itu berbahaya, justru memiliki risiko kematian yang lebih rendah. Bahkan, mereka memiliki tingkat risiko kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merasakan stres sama sekali. Penelitian ini menyimpulkan bahwa lebih dari 182.000 orang di Amerika Serikat meninggal lebih cepat bukan karena stres itu sendiri, melainkan karena keyakinan mereka bahwa stres itu berbahaya.
Penelitian ini memberi pelajaran penting. Stres tidak selalu menjadi masalah utama; yang menjadi masalah adalah bagaimana seseorang memandang stres tersebut. Jika seseorang memandang stres sebagai ancaman besar, tubuh mereka akan meresponsnya dengan cara yang merugikan kesehatan. Sebaliknya, jika seseorang melihat stres sebagai sesuatu yang wajar, reaksi tubuh mereka terhadap stres bisa menjadi lebih sehat.
Sebagai contoh, di Universitas Harvard dilakukan eksperimen dengan para peserta yang diminta menjalani tes stres sosial. Mereka diminta berpidato di depan panel juri tentang kelemahan pribadi mereka, dengan lampu terang dan kamera yang mengarah ke wajah mereka, sambil dihadapkan pada gangguan dari penguji yang memberikan reaksi negatif. Hal ini tentu bisa membuat siapapun merasa stres---dengan detak jantung yang meningkat, napas yang lebih cepat, dan keringat yang mulai keluar. Biasanya, perubahan fisik ini dianggap sebagai tanda kegelisahan dan ketidakmampuan untuk menghadapi stres. Namun, dalam penelitian ini, peserta diajarkan untuk memandang perubahan fisik tersebut sebagai tanda bahwa tubuh mereka sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan.
Peserta yang diajarkan untuk melihat stres sebagai hal yang bermanfaat justru merasakan dampak positif. Jantung mereka berdebar kencang, tetapi pembuluh darah mereka tetap rileks---sebuah reaksi tubuh yang jauh lebih sehat dan jauh lebih baik untuk jantung. Ini menunjukkan bahwa cara seseorang memandang stres sangat menentukan bagaimana tubuh mereka meresponsnya. Dengan cara ini, stres tidak lagi menjadi ancaman, tetapi sesuatu yang bisa menguatkan tubuh untuk lebih siap menghadapi tantangan.
Selain itu, ada satu hal menarik yang ditemukan dalam penelitian mengenai hormon oksitosin. Oksitosin sering dikenal sebagai "hormon peluk", karena perannya dalam mempererat hubungan sosial. Namun, sedikit orang yang tahu bahwa oksitosin juga berperan dalam reaksi stres kita. Saat seseorang merasa stres, tubuh mereka memproduksi oksitosin, yang mendorong mereka untuk mencari dukungan dari orang lain. Oksitosin memotivasi seseorang untuk berbicara dengan orang yang mereka percayai dan mencari kenyamanan dalam hubungan sosial.