Ada kalanya, hidup memberi kita kejutan yang tak terduga. Kejutan yang datangnya bisa sangat menyakitkan, namun justru di situlah kita menemukan kekuatan yang tak pernah kita sadari sebelumnya. Ini adalah kisah tentang seorang wanita yang, meskipun dilanda penderitaan dan kenyataan yang tampaknya tak bisa dipatahkan, berhasil mengubah takdirnya dan memberikan dampak besar bagi banyak orang.
Pada Desember 1996, di sebuah ruang tunggu di Rio de Janeiro, Brazil, seorang wanita muda duduk seorang diri. Di sekelilingnya, pasangan-pasangan lain tampak berbicara dengan penuh semangat, merencanakan masa depan mereka. Mereka bercerita tentang hal-hal sederhana yang menyenangkan: anak-anak yang ingin mereka miliki, rumah yang ingin mereka bangun, dan harapan-harapan untuk masa depan. Namun, bagi wanita ini, semuanya terasa sangat berbeda. Meskipun ada banyak orang di sekitarnya, ia merasa sangat kesepian. Seolah-olah ada tembok yang menghalangi dirinya dengan dunia luar.
Wanita ini sedang mengandung anak pertama, namun kehidupannya sangat jauh dari kata sempurna. Ia tak punya pekerjaan, tak ada asuransi kesehatan, dan harus tinggal bersama orang tua setelah mengakhiri pernikahan yang penuh dengan kekerasan. Selama sepuluh tahun, pernikahannya dipenuhi dengan kekerasan fisik dan emosional, dan ia sering kali merasa seperti terjebak dalam lingkaran tak berujung yang mengikis semangatnya. Namun meski begitu, ia masih memelihara harapan dalam hatinya. Harapan bahwa ada masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan anak yang sedang dikandungnya.
Namun, hari itu, segala harapan itu diuji dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setelah menjalani pemeriksaan rutin, wanita ini bertemu dengan dokter yang akan mengubah hidupnya selamanya. Tanpa peringatan, sang dokter mengajukan sebuah pertanyaan yang tak terduga: "Apakah Anda setia pada pasangan Anda?" Pertanyaan yang sangat pribadi, yang membuatnya terkejut dan bingung. Tapi ia tak sempat berpikir lebih jauh, karena beberapa detik kemudian, dokter memberikan berita yang benar-benar mengguncang hidupnya.
Dokter itu memberi tahu bahwa ia terinfeksi HIV. Wanita itu terdiam. Sang dokter melanjutkan, "Dengan kondisi Anda, saya rasa Anda tidak akan bertahan lama untuk melihat anak Anda tumbuh besar." Seolah-olah waktu yang dimilikinya sudah habis, dan semua harapan yang ia pegang erat terenggut begitu saja. Tak ada yang bisa ia lakukan selain duduk terdiam, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya.
Namun, meskipun kenyataan itu begitu menyakitkan, wanita ini tidak membiarkan takdir mengalahkannya. Di tengah rasa takut dan kebingungannya, ia membuat keputusan besar. Ia tidak akan menjadi sekadar angka dalam statistik, ia tidak akan membiarkan dunia menganggapnya sebagai korban yang kalah. Dengan segala keterbatasan yang ia hadapi, ia memutuskan untuk berjuang. Ia ingin bertahan hidup, ingin melihat anaknya tumbuh besar, dan yang lebih penting lagi---ia ingin memberikan suara bagi perempuan lain yang terjebak dalam situasi yang sama.
Wanita ini menyadari bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan HIV memiliki hubungan yang sangat erat. Secara global, satu dari tiga perempuan akan mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidup mereka. Dan yang lebih mengkhawatirkan, perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga lebih mungkin terinfeksi HIV---sering kali dari pasangan mereka sendiri. Dalam banyak kasus, suami atau pasangan menjadi sumber penyebaran HIV. Ini adalah kenyataan yang sering kali tidak terdengar dalam pembicaraan tentang kesehatan global, sebuah topik yang sering kali terabaikan meskipun dampaknya sangat besar.
Saat itu, ia menyadari betapa pentingnya untuk mengubah cara pandang terhadap masalah ini. Penelitian tentang kekerasan dalam rumah tangga dan HIV sering kali dilakukan dengan cara yang terpusat, di mana para akademisi datang dengan solusi dari atas, tanpa melibatkan masyarakat yang sebenarnya terdampak. Perempuan yang menjadi korban sering kali hanya dianggap sebagai objek penelitian, bukan sebagai aktor utama yang memiliki suara dalam proses pencarian solusi. Wanita ini merasa bahwa inilah saatnya untuk mengubah cara pandang ini.
Ia memutuskan untuk terlibat langsung dalam dunia penelitian dan memberi kontribusi dengan cara yang berbeda. Ia menjadi seorang aktivis hak perempuan dan ilmuwan, mendorong pendekatan penelitian yang lebih inklusif, di mana perempuan yang terdampak langsung bisa berperan dalam proses pencarian solusi. Pendekatan ini dikenal sebagai penelitian partisipatif komunitas. Dalam model ini, komunitas berperan aktif dalam merancang dan melaksanakan solusi, yang tidak hanya menguntungkan mereka, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk berbicara dan merancang masa depan mereka sendiri.
Dengan semangat baru yang tumbuh dalam dirinya, wanita ini melanjutkan perjuangannya. Ia mulai berfokus pada penelitian yang melibatkan perempuan dan komunitas mereka dalam setiap langkah. Wanita ini percaya bahwa ilmu pengetahuan harus bisa menjadi alat pemberdayaan. Dengan memberi perempuan kesempatan untuk terlibat dalam penelitian, kita bukan hanya memberi mereka kekuatan untuk memperbaiki hidup mereka, tetapi juga untuk memperjuangkan hak mereka di tingkat global.