Mohon tunggu...
Denik HarumPuspitasari
Denik HarumPuspitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jurusan Kimia Undiksha

Universitas Pendidikan Ganesha, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Kimia, Program Studi Pendidikan Kimia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Perkembangan Sejarah Fotosintesis

10 April 2022   20:25 Diperbarui: 10 April 2022   20:42 3271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para ilmuwan khususnya di bidang fisiologi tumbuhan, sejak lama telah mengamati dan mengeksplor fenomena fotosintesis. Sekitar tahun 1600-an awal, Jan van Helmont, seorang dokter sekaligus ahli kimia yang berasal dari Flandria, ingin mengetahui penyebab dari bertambahnya massa tumbuhan dari waktu ke waktu sehingga melakukan sebuah percobaan. Percobaan ini dijadikan dasarnya untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi. Helmont melalui percobaan yang telah dilakukan mendapatkan kesimpulan bahwa pemberian air merupakan faktor dari bertambahnya massa tumbuhan dari waktu ke waktu.

Selanjutnya pada tahun 1727, Stephen Hale, seorang ahli botani yang berasal dari Inggris, ia berasumsi bahwa bertambahnya massa tumbuhan dari waktu ke waktu tidak hanya faktor pemberian air saja namun ada faktor lain yang mempengaruhinya. Maka dari itu ia kemudian berpendapat bahwa hasil dari adanya proses tertentu yang melibatkan cahaya dan atmosfer merupakan sebagian sumber makanan tumbuhan.

Beberapa tahun berikutnya tepat pada tahun 1771, Joseph Priestley, seorang pendeta sekaligus ahli kimia yang berasal dari Inggris melaukan beberapa percobaan. Percobaan pertama, dalam sebuah tabung tertutup yang terbalik ia meletakkan sebuah lilin menyala. Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa sebelum lilin habis terbakar dalam tabung tertutup tersebut terlihat nyala api lilin cepat padam. Lalu pada percobaan kedua, ia kemudian meletakkan sebuah tanaman bersama dengan lilin yang menyala dalam sebuah tabung gelas tertutup. Dari pengamatan yang ia lakukan, ternyata nyala api lilin lebih bertahan lama atau tetap menyala dibandingkan dengan percobaan pertama yang dilakukannya sebelumnya. Berdasarkan kedua percobaan tersebut kemudian ia menyimpulkan bahwa terdapat sebuah gas yang dihasilkan oleh tumbuhan yang menyebabkan nyala api lilin lebih bertahan lama atau selama gas tersebut masih ada maka lilin akan tetap menyala. Namun saat itu, ia belum mengetahui bahwa gas yang dihasilkan oleh tumbuhan tersebut merupakan oksigen.

Selain itu, Priestley juga melakukan percobaan untuk mengetahui dampak apalagi yang ditimbulkan oleh gas tersebut dengan melakukannya pada tikus. Pertama, ia meletakkan sebuah tikus dalam tabung gelas tertutup terbalik bersama dengan lilin yang menyala dan diperoleh hasil yaitu tikus tersebut mati lemas. Kemudian percobaan kedua ia menambahkan sebuah tumbuhan sehingga di dalam tabung gelas terbalik tersebut terdapat lilin yang menyala, tikus dan tumbuhan. Pada percobaan kedua ini ternyata tikus dalam tabung masih hidup. Berdasarkan kedua percobaan yang ia lakukan tersebut ditarik kesimpulan bahwa tikus mati akibat “rusaknya” udara dalam tabung tersebut dan tikus akan tetap hidup selama ada tumbuhan juga di dalamnya yang mana tumbuhan ini dapat berfungsi “memulihkan” udara yang rusak akibat nyala api lilin.

Dengan menariknya penemuan dari percobaan yang dilakukan oleh Priestley menyebabkan banyaknya para ahli yang juga ikut tertarik dan menggali mengenai fenomena tersebut, salah satunya yaitu Jan Ingenhousz, seorang dokter atau ahli fisiologi kerajaan Austria dari German. Ia melakukan sebuah percobaan dengan menggunakan sebuah tumbuhan air yaitu Hydrila verticilata.

Berdasarkan percobaan yang ia lakukan tersebut, dapat sedikitnya ia jelaskan fenomena yang terlihat pada percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Priestley sebelumnya. Pada percobaan ini, terlihat bahwa adanya pengaruh cahaya matahari terhadap kemampuan tumbuhan dalam “memulihkan” udara yang “rusak”. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa selain dapat memulihkan udara yang rusak ternyata tumbuhan juga dapat berlaku sebaliknya yang mana “mencemari” udara saat keadaan gelap. Maka dari itu, ia memberi saran agar mengeluarkan tumbuhan atau tanaman saat malam hari agar tidak mencemari udara dan meracuni orang-orang yang ada di dalamnya.

Adapun tiga hal penting yang didapatkan lainnya dari percobaan yang dilakukan Ingenhousz yang juga melengkapi pengetahuan berdasarkan percobaan yang dilakukan Priestley sebelumnya yaitu benar adanya bahwa cahaya matahari terlibat dan dibutuhkan dalam proses tertentu tersebut; gas yang dihasilkan dari proses tersebut telah dibuktikan ternyata merupakan gas oksigen (O2); dan gas O2 tersebut hanya dikeluarkan oleh bagian yang hijau saja (daun).

Penemuan-penemuan yang telah diperoleh oleh Priestley dan Ingenhousz ini kemudian lebih disempurnakan lagi oleh seorang pastor sekaligus ahli botani dari Perancis yaitu Jean Senebier pada tahun 1782. Gas karbondioksida merupakan udara yang “merusak” dan “dipulihkan” oleh tumbuhan dalam proses tertentu tersebut. Kemudian ahli fisiologi sekaligus kimia dari Swiss yaitu Nicholas de Saussure menemukan bahwa pertumbuhan tanaman akibat penyerapan karbondioksida dan air. Hasil penyerapan ini kemudian dikemukakan oleh Sachs bahwa pada proses tersebut (fotosintesis) menghasilkan karbohidrat atau zat gula yang disebut amilum.

Dari beberapa percobaan serta pernyataan yang ada, kemudian Theodore de Saussure mengemukakan korelasi antara asumsi Stephen Hole sebelumnya dengan fenomena udara “terpulihkan” atau “dirusak” tersebut. Dijelaskan bahwa pertambahan massa dari tumbuhan tidak hanya dari pemberian air namun juga karean adanya penhyerapan karbondioksida. Maka dari itu, para ahli merumuskan persamaan reaksi yang terjadi pada proses fotosintesis yang menghasilkan sebuah zat gula berdasarkan simpulan-simpulan yang telah didapatkan dari berbagai percobaan sebelumnya sebagai berikut.

reaksi-fotosintesis-lum-lengkap-6252d84392cb5a4b5a0add02.jpg
reaksi-fotosintesis-lum-lengkap-6252d84392cb5a4b5a0add02.jpg
Setelah terumuskannya persamaan fotosintesis seperti di atas sekarang munculah pertanyaan dari para ahli mengenai sumber atau penyebab dihasilkannya gas oksigen tersebut. para ahli menduga bahwa dihasilkannya gas oksigen merupakan akibat dari adanya pemecahan gas karbondioksida. Namun hal tersebut kemudian dipatahkan dan dijelaskan oleh Cornelis Van Niel mengenai penjelasannya terhadap proses kimia yang terjadi pada fotosintesis.

Ia mempelajari bagaimana fotosintesis yang terjadi pada bakteri sulfur dan bakteri hijau. Dari hasil eksplorasi yang dilakukannya, diketahui bahwa proses fotosintesis merupakan salah satu dari reaksi redoks dengan pemanfaatan cahaya matahari, yang mana peristiwa “pemulihan” tersebut karena karbondioksida berkurang akibat hidrogen. Dengan energi cahaya matahari ini juga, bakteri sulfur mampu menghasilkan zat gula dari reaksi antara gas belerang (H2S) dan gas karbondioksida (CO2), jadi bukan dari H2O (air) sepeti pada tumbuhan. Pada bakteri ini, terjadi pemecahan pada H2S sehingga menghasilkan belerang (S). Fenomena tersebut menyebabkan Niel berasumsi bahwa gas oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis pada tumbuhan merupakan hasil pemecahan air (H2O). Berikut persamaan reaksi yang terjadi pada fotosintesis bakteri sulfur yang diamati:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun