Bukan hal mudah menghapus ingatan tentang wajah tanpa dosa yang meregang nyawa di depan mata. Meski itu hanya seekor hewan peliharaan.Â
Dahulu kami memiliki seekor kucing kampung yang sangat pintar dan penurut. Namanya Choki. Dia sudah hapal namanya dan siapa tuannya.Â
Kalau namanya kami panggil, pasti langsung menghampiri. Meskipun sedang bermain di luar yang entah di mana. Dari atas genting akan terdengar laju larinya yang kecang.
Kalau saya berangkat sekolah (waktu itu masih SMP), Choki mengikuti sampai depan gang. Saat pulang sekolah kalau dia sedang bermain sampai di depan gang, pasti ikut pulang.Â
Pokoknya Choki kesayangan keluarga kami. Tak ada Choki rumah terasa sepi. Suatu hari Choki pulang ke rumah dengan mulut berbusa. Jalannya limbung. Kemudian tergeletak di teras rumah dengan nafas tersengal-sengal.
Kami semua panik. Choki saya bopong ke dalam. Layaknya terhadap manusia. Kami semua bertanya tentang keadaannya.
"Choki, kamu kenapa?"
"Choki, kamu dipukuli orang ya?"
"Choki, apa kamu diracun orang?"
Tidak seperti biasanya yang tiap kali kami sebut namanya dia akan mengeong. Kali ini Choki hanya menatap kami dengan tatapan sedih dan mulut terkunci rapat.
Melihat kondisi Choki seperti itu saya menangis. Kasihan melihat wajahnya yang tanpa dosa sedang menahan sakit. Tanpa bisa membantu atau berbuat sesuatu.