Saat mengetahui bahwa pendidikan bagi anak perempuan di Indonesia bukanlah skala prioritas, saya tidak merasa terkejut lagi. Sebab pernah berada di lingkungan seperti itu. Rasanya prihatin sekali. Padahal bukan saya yang mengalami sendiri.
Maksudnya bukan saya yang terkungkung dan terhambat pendidikannya. Melainkan sanak saudara di desa. Saya sendiri sejak kecil sudah tinggal di kota. Jadi setiap tahun mudik mengunjungi sanak saudara di kampung.
Dari situlah saya mengetahui bahwa cara pandang keluarga di sana sangat berbeda sekali terhadap pendidikan. Terutama terhadap anak perempuan.Â
"Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya ke dapur juga. Yang penting bisa baca tulis."Â
Ya, ampun. Untungnya orang tua saya tidak seperti itu. Mereka justru memberi pandangan dan wawasan yang luas tentang pentingnya pendidikan. Pasti sedih sekali anak yang orang tuanya berpikiran demikian. Pikir saya.
Ternyata tebakan saya salah. Ketika saya berkumpul dengan mereka yang seumuran. Saat itu saya masih kelas enam SD. Begitu saya tanyakan, mereka akan melanjutkan SMP di mana? Saya ditertawakan.Â
"SMP? Kita sih habis kelulusan ini mau ke Jakarta atau ke Tangerang untuk kerja. Enggak melanjutkan sekolah lagi."
Saya bengong.Â
"Kerja apa? Memang enggak pengin sekolah lagi?"
"Penginnya sih di pabrik aja. Tapi kalo enggak bisa ya di perumahan juga enggak apa-apa."
Lagi-lagi saya bengong. Sempat bingung. Kerja di perumahan itu maksudnya apa? Setelah saya tanyakan pada orang tua. Rupanya kerja jadi asisten rumah tangga. Oalaaah, saya pikir apa?