Satu jam? Menunggu di tempat seperti itu. Gimana enggak mau ngakak. Santai sekali bang Pedro bilang begitu. Saya sudah merasakan suasana di sana yang jauh dari mana-mana. Terbayang dong satu jam duduk sendirian di tengah padang?
Begitu pula saat adegan Aisyah terguncang-guncang di dalam mobil yang menjemputnya. Yang membuatnya pusing dan mual-mual. Saya teringat perjalanan bersama seorang kawan menuju Atambua tahun lalu. Kawan saya pun mengalami hal demikian. Mabuk perjalanan. Karena memang alamnya seperti itu.Â
Adegan Bang Pedro bercakap-cakap dengan anak-anak dan penduduk di sana. Kedekatan Aisyah dekat dengan anak-anak dan mulai berdialog dengan logat sana membuat saya rindu untuk ke sana lagi.Â
Bang Pedro yang kerap melucu membuat saya teringat tour guide yang mengantar kami ke Atambua dan perjalanan kami selama di sana.Â
Segala sesuatunya kalau hanya melihat atau mendengar, apalagi kata orang. Maka yang terbayang hanya hal-hal buruk. Seperti gambaran tentang NTT yang katanya jauh sekali. Kalau ada apa-apa susah karena jauh dari mana-mana. Belum lagi masyarakat sana yang katanya keras.Â
Namun setelah saya melihat dan merasakan sendiri bagaimana kondisi di sana, saat perjalanan bersama seorang kawan dan tour guide yang asli orang sana. Semua cerita buruk yang pernah saya dengar tak ada sama sekali. Memang ada kondisi yang nampaknya jauh dari mana-mana. Sebab alamnya memang seperti itu. Masih alami dan belum banyak pembangunan.
Selama mengetahui medannya dan ada pendamping yang tepat. Kalau saya adanya bang Victor Nope, tour guide kami. Sedangkan di film adanya bang Pedro itu. Maka semua akan baik-baik saja. Adapun cerita tentang masyarakat sana yang katanya keras? Tidak juga. Saya merasa masyarakat di sana ramah dan hangat dalam menyambut orang baru.ÂMungkin hanya segelintir jika ada yang beranggapanp buruk. Di mana tempat rasanya pasti ada orang baik dan orang jahat. Itu kan memang seperti dua sisi mata uang. Tinggal bagaimana kitanya saja.
Kembali ke pembahasan tentang film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara. Film yang mengangkat toleransi beragama, kebudayaan dan alam Indonesia di wilayah Timur melalui peran Aisyah sebagai guru yang ditugaskan  ke sana  sungguh sederhana. Namun pesan moralnya dapat. Penggambilan gambarnya pun bagus dan menggoda hati untuk mengetahui lebih jauh tentang kondisi di sana.
Pantaslah jika film ini meraih Piala Citra untuk kategori Penulis Skenario Asli Terbaik besutan Jujur Prananto dan Piala Maya untuk Kategori Penyunting Gambar Terpilih besutan Wawan I.Wibowo. Dusun Derok, Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara yang memiliki gugusan bukit-bukit indah meski nampak gersang sungguh mempesona mata. Menonton ulang film tersebut menghadirkan kerinduan yang menyelusup lembut untuk bisa menjelajahi daerah sana lebih jauh.
Alam Indonesia itu memang indah. Kebudayaannya beragam. Orang-orangnya ramah. Jadi kalau kita pernah berkunjung ke suatu tempat di mana pun di wilayah Indonesia. Kemudian melihatnya lagi melalui film. Sudah pasti kita akan teringat dan merindukan suasana di tempat itu lagi. Inilah yang saya rasakan saat menonton film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara sebelum dan sesudah berkunjung ke Atambua. (EP)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H