Ketika melihat kehadiran pemulung di sekitar rumah, seorang ibu segera berbisik-bisik, "Hati-hati, gayanya aja nyari barang-barang bekas. Kalo liat gak ada orang disikatnya barang-barang kita."
Seorang ibu lain menimpali, "Iye, bener. Kemarin sandal anak saya hilang. Malam lupa dimasukin. Eh, tadi pagi udeh kagak ada. Siapa lagi kalo bukan kerjaan pemulung yang bergerilya subuh-subuh. Tau aja die sama barang bagus."
"Makanya saya benci banget liat pemulung yang gelap-gelap udah kelayaban. Enggak bisa nunggu terang dulu ape," sahut ibu yang lain.
Pembicaraan seputar pemulung pun semakin seru dengan kedatangan ibu-ibu lain yang menceritakan pengalamannya. Bisa real bisa juga sekadar bumbu.
Ketika musibah banjir datang tiba-tiba. Bahkan ke tempat-tempat yang biasanya tidak terkena banjir. Menerjang apa saja yang dilaluinya. Kita semua hanya bisa terlogok tanpa bisa berbuat apa-apa.
Rumah sudah seperti kapal pecah usai banjir reda. Barang-barang sudah tak karuan bentuknya. Sebagian besar teronggok di halaman rumah. Sudah tak berguna lagi.
Setiap hari membersihkan rumah. Setiap kali itu pula ada saja barang-barang yang harus kita singkirkan. Membuat gundukan sampah barang rusak di halaman semakin menggunung.Â
Dalam kondisi seperti ini kita butuh kehadiran pemulung. Sebab tukang sampah di rumah tidak serta-merta mau mengangkut semua barang-barang tersebut.
Pemulung yang biasanya masuk ke pelosok kampung untuk mencari barang rongsokan, tak kelihatan batang hidungnya. Akibat banjir ia panen barang rongsokan. Bisa jadi tanpa harus berkeliling kampung ia sudah mendapatkan barang rongsokan tersebut. Teronggok di depan tempat tinggalnya akibat terbawa banjir.
Ibu-ibu yang tempo hari mencaci-maki kehadiran kini sebaliknya. Mencari-cari batang hidungnya.