Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Cara Mengenang Masa Kecil di Desa

13 Juli 2019   09:21 Diperbarui: 13 Juli 2019   09:29 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya lahir di desa sampai dengan kelas satu Sekolah Dasar. Usia yang cukup untuk merekam jejak masa kecil yang pernah dilalui. Salah satunya memori ketika menyusuri jalan setapak di tengah kebun menuju rumah kawan. 

Atau melintasi Padang ilalang menjemput kawan untuk mengajaknya main di halaman depan rumah pak haji. Guru ngaji kami. Selain pandai dalam ilmu agama, pak haji juga seorang pebisnis istilah jaman sekarang. Rumahnya bagus dan halamannya luas. Rumah bertembok beton. Dimana rumah kebanyakan warga masih menggunakan gedek. 

Di halaman rumah pak haji yang kami sebut latar itu anak-anak biasa bermain. Ada yang bermain lompat tali, gundu atau kelereng dan gobak sodor atau gala asin. Malam Minggu halaman tersebut sangat ramai. Apalagi saat bulan purnama. 

Saat seperti itulah saya dan teman-teman janjian untuk bisa kumpul di sana. Kami saling menjemput ke rumah satu kawan ke rumah kawan yang lain. Usai mandi sore kami sudah siap di depan rumah menunggu kawan yang akan menjemput. 

Tak lupa perlengkapan salat kami masukkan ke dalam tas. Meski Sabtu malam pengajian libur. Tetapi kami tetap membawa tas untuk tempat mukena dan sarung. Pukul sembilan malam barulah kami pulang dijemput oleh bapak masing-masing.

Dokpri
Dokpri

Saat melewati jalan setapak biasanya saya digendong belakang oleh bapak. Terutama ketika usai hujan. Saya kerap tertidur digendongan bapak. Momen yang tak akan pernah terlupakan. Bagaimana orang tua memerlu-merlukan dan memberi kebebasan kepada anaknya untuk bermain. Karena menyadari bahwa dunia anak-anak adalah bermain.

Hari Minggu pagi saya dan teman-teman kembali menyusuri jalan-jalan setapak. Kali ini untuk mencari buah-buahan di kebun orang. Pemilik kebun tidak marah jika kami datang meminta mangga atau jambu yang ada di kebunnya. Kami katakan untuk rujakan.

Setelah hijrah ke Jakarta sudah tak saya jumpai lagi suasana seperti itu. Gaya bermainnya tak lagi sama. Jalan setapak yang masih tercium bau tanahnya sulit ditemukan. Oleh sebab itu jika pulang sekolah yang kebetulan jaraknya cukup bisa dijangkau dengan berjalan kaki, saya memilih jalan pelan-pelan sambil mencari jalan baru.

Saya sangat senang jika diajak main ke rumah kawan yang merupakan suku Betawi asli. Mereka memiliki banyak kebun. Jadi kami masih bisa main di kebun sambil memetik buah kecapi. Sayang lambat laun tanah dan kebun mereka berubah menjadi rumah-rumah petakan yang biasa disebut dengan kontrakan. 

Ketika sudah saatnya mengendarai motor, saya kerap pergi ke pinggiran Jakarta. Mencari nuansa pedesaan. Sebelum booming nge-trip seperti saat ini. Di mana kita bisa memilih paket perjalanan yang sesuai keinginan. Bisa ke laut, ke gunung atau ke pedesaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun