Batik. Selembar kain yang digambar dengan malam/lilin menggunakan canting sebagai alat untuk menggambarnya. Teknik membatik seperti ini disebut teknik canting. Kain batik yang dihasilkan disebut batik tulis. Karena proses membatik seperti ini tidaklah mudah. Apalagi jika motif yang dipilih tidak sembarangan alias rumit. Wajar jika harga selembar kain batik tulis tidak murah.Â
Di Indonesia membatik dengan cara seperti ini sudah menjadi budaya dan tradisi turun menurun. Terutama di daerah Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan wilayah kesultanan. Di mana pada masa kejayaannya kain batik menjadi pakaian yang dikenakan sehari-hari oleh raja hingga para abdi dalem.Â
Bahkan raja dan permaisuri mampu membatik sesuai filosofinya masing-masing. Oleh karenanya penggunaan batik pada masa itu pun tidak sembarangan. Sesuai dengan tingkatannya. Juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Kain batik untuk suasana berkabung tentu berbeda dengan kain batik yang dikenakan pada saat pesta pernikahan.
Seiring perkembangan zaman, kain batik tersebut mulai dikenal luas. Tak hanya di dalam negeri tetapi juga sampai ke luar negeri. Dan kini penggunaannya tidak sesakral dahulu. Apalagi setelah pada 2 Oktober 2009 UNESCO menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan non benda asal Indonesia. Siapa saja bisa mengenakan batik sesuai selera.
Pengakuan internasional terhadap budaya ini membuat kita wajib menjaga serta melestarikannya. Tidak hanya bangga serta cinta terhadap batik. Tetapi ada tindakan nyata sebagai wujud kepedulian.
Salah satu daerah yang konsen menjaga kelestarian batik sebagai salah satu budaya bangsa adalah kota Tangerang. Melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), pemerintah gencar mengembangkan tradisi membatik.Â
Sejak tahun 2018 Disbudpar menyelenggarakan pelatihan membatik di wilayah kecamatan Tangerang. Warga yang memiliki ketertarikan dan kecintaan terhadap batik terus dibina sampai bisa mandiri. Bahkan dalam satu RW sudah ada yang memproklamirkan diri sebagai kampung batik. Tentu saja hal ini merupakan kemajuan yang membanggakan bagi pemerintahan kota Tangerang dan Disbudpar pada khususnya.
Namun kelompok-kelompok mandiri yang mencintai batik juga banyak tersebar di wilayah kota Tangerang. Mereka ada yang membentuk sanggar seperti sanggar batik kembang mayang di daerah Larangan Selatan. Dan sanggar batik palbatu. Semuanya mengangkat batik sebagai komoditi.
Secara keseluruhan Kota Tangerang sudah memiliki batik sesuai icon kota ini. Sebut saja batik Nyi Mas Melati. Diambil dari salah satu pendekar perempuan asal Tangerang. Lalu ada batik Cisadane. Diambil dari sungai Cisadane yang membelah kota Tangerang. Hal ini menunjukkan kreativitas para pembatik Kota Tangerang.
Tahun 2019 Disbudpar Kota Tangerang kembali menyelenggarakan pelatihan membatik selama empat hari. Sebagai kelanjutan dari program sebelumnya. Jika tahun lalu teknik membatik yang diajarkan berupa teknik colet. Tahun ini berupa teknik canting. Dr. Ir. Indra Tjahyani selaku pengajar memberikan pengetahuan membatik kepada para peserta secara detail.Â
Hari pertama yang sekaligus pembukaan, peserta diberikan pengenalan mengenai apa itu batik, bagaimana batik diproses sampai pada filosofi yang terdapat pada selembar kain batik. Antusias warga sangat tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta yang hadir.Â