Tetangga. Kata yang dulu begitu diagungkan oleh orang kita. Pada saat kita berkeluarga lalu keluar dari rumah orang tua, pindahlah untuk mengontrak rumah atau merangkul rumah sendiri dengan alasan ingin mandiri. Salah satu pesan orang tua yang selalu diulang-ulang adalah tentang kehidupan bertetangga. "Baik-baik dengan tetangga dilingkungan yang baru nanti. Tetangga merupakan saudara terdekat yang sewaktu-waktu bisa dimintai tolong."
Tetangga, orang pertama yang pintunya bisa diketuk, jam berapa pun dibutuhkan. Begitu pesan ibu. Saudara, orang yang jika dikabari sesuatu tidak bisa langsung datang. Apalagi yang tinggalnya jauh. Butuh waktu. Sementara itu, dalam hitungan detik tetangga bisa langsung membantu jika ada apa-apa. Itu dulu.Â
Lalu dengan kondisi saat ini? Di mana zaman sudah berubah. Semua sudah serba canggih. Era orang-orang digital. Apa pun bisa dilakukan dengan sekali klik. Mulai dari uang belanja hingga bersih-bersih rumah bisa dilakukan secara online.Â
Jika dulu kita kerap bertanya kepada tetangga untuk dicarikan seorang pramuwisma. Kini hal seperti itu sudah tidak diperlukan lagi. Tetangga pun seolah tak memiliki fungsi lagi. Apalagi bagi mereka yang bekerja penuh waktu. Berangkat pagi, pulang malam.
Saya mengalami tiga fase  dalam bertetangga. Mulai dari masa telepon rumah masih jarang dimiliki orang, lalu menelepon dengan telepon genggam dan era digital yang serba canggih seperti sekarang ini.
"Elo-elo. Gue-gue." Sikap yang dulu lebih merupakan tipikal orang-orang kota. Kini di kampung-kampung pun demikian adanya. Mereka lebih nyaman dengan gadget dibandingkan dengan makhluk di sekitarnya.Â
Seperti peristiwa yang terjadi pada tetangga di ujung tempat tinggal saya. Pagi-pagi sekali seperti biasa saya menyapu halaman. Tidak seperti biasa di mana jam-jam saya biasa menyapu suasana masih terlihat sepi, belum ada orang yang keluar rumah. Tetapi pagi itu sudah ada yang yang keluar. "Habis Olahraga Mpok?" sapa saya. "Oh, enggak. Itu loh ...."
Dan mengalirlah cerita si Mpok tentang tetangga di sebelah ujung. Pasangan muda yang juga baru melahirkan anak kedua. "Tadi subuh istrinya keluar dipapah. Enggak bisa jalan. Sepertinya mau ke rumah sakit."
"Tahu dari mana Mpok?" tanya saya ingin tahu. "Mengintip dari jendela. Mau keluar malas. Lha, orangnya begitu. Lewat enggak pernah senyum. Boro-boro nyapa. Di rumah hp aja kerjaannya. Saya tahu anaknya rewel. Tapi saya malas mau bantuinnya."
Saya menjawab dengan senyum. Jadi seperti itu pencermin tetangga satu dengan lainnya. Para pendatang baru hampir sebagian besar sikapnya seperti itu. Sedangkan penduduk lama yang lebih tua, tidak suka dengan sikap seperti itu. Alhasil jadi hidup masing-masing saja.Â
Jika seperti ini kondisinya. Siapa yang dipersalahkan? Manusianya atau kemajuan teknologinya? Seperti apa sih makna tentang di mata generasi milenial?Â