Ngopi. Kini bukan lagi pengusir kantuk atau pembuka hari sebelum memulai aktivitas (baca: sarapan). Tetapi sudah menjadi gaya hidup. Life style bahasa kerennya. Terutama bagi masyarakat di perkotaan.
Sementara bagi warga yang tinggal di perkampungan, nongkrong di warung kopi sudah seperti tradisi. Entah di pagi hari atau malam hari. Sepertinya ada yang kurang jika tidak nongkrong di warung kopi. Oleh karenanya mereka senantiasa meluangkan waktu untuk ke sana.
Sementara bagi masyarakat pekerja di daerah perkotaan, tempat yang menjadi tujuan tentu coffe shop atau di kafe-kafe. Nongkrong dan ngopi di sana sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari mereka.
Biasanya jenis kopi yang dinikmati di coffe shop semacam kopi espresso, macchiato, coffe latte dan lain-lain yang berlabel Italia. Tidak masalah. Sah-sah saja. Ini soal selera. Jadi tak ada bahasan tentang kopi mana yang paling baik.
Saya sendiri bukanlah pencinta kopi sejati. Jadi bisa menikmati jenis kopi apa saja. Itu pun tidak rutin. Hanya sesekali sekedar "piknik" atau toleransi mengikuti ajakan kawan untuk ngopi di suatu tempat.
Tetapi karena di keluarga memiliki adik yang pencinta kopi sekali. Sampai-sampai memiliki alat penggiling kopi sendiri. Maka pembahasan tentang kopi, terutama kopi hitam kerap saya dengar. Juga mengenai tempat-tempat ngopi yang asyik. Sesekali saya pun kerap ikut jika diajak hunting tempat ngopi. Anggap saja piknik.
Anggapan bahwa kopi asli itu harganya mahal, ditepis oleh JWN. Melalui JWN kita bisa menikmati kopi asli Indonesia dengan harga terjangkau.
Tidak hanya itu, di rumahnya, Ulil juga membuat warkop lab untuk meracik biji-biji kopi. Saya pun penasaran. Seperti apa sih dapur kopi Ulil itu? Hingga ia terpilih sebagai pemenang MLD Content Hunt pada tahun 2017 kategori Inspiring People.