± 900 DETIK
Deg, deg… deg, deg… Jantungku berdegup kencang. Tubuhku berkeringat. Pikiranku kemana – kemana. Aku takut ada yang tidak berjalan sesuai rencana. segera ku ambil sebuah kursi. Dan duduk di atasnya. Aku berusaha duduk dengan setegap – tegapnya. Bahuku tegang. Sebuah salep pelemas otot mungkin membantu. Namun tidak untuk kali ini. Tubuhku terlalu tegang. Aku takut nantinya mengeluarkan aliran listrik yang dapat menewaskan orang sekitar.
Ingin rasanya pergi ke pantai untuk menenangkan hatiku. Tapi itu tidak mungkin. Aku harus duduk di kursi itu selama ± 15 menit.
Di depanku, ada 3 orang sedang berbincang – bincang.
Seorang bapak – bapak. Wajah berbentuk persegi, kaku, bergaris tegas. Dan berbusana seperti bos sebuah perusahaan besar, atasan putih, bawahan gelap. Tidak lupa dasi panjangnya mengikat batang lehernya yang kuat. Posisi duduknya tegak, namun terlihat santai. Dia terlihat serius mendengarkan curhat kedua kawannya.
Di samping kirinya, duduk seorang wanita paruh baya, berkerudung, modis, dan berbusana warna – warni. Wajahnya oval, berkulit kuning, dan sesekali tersenyum ketika berbicara dengan Pak Bayu. Namanya Ibu Ani.
Sementara di samping kanan Pak Bayu, seorang pria berkumis tipis dan berambut ikal juga asyik terlibat obrolan dengan mereka berdua. Gerak – geriknya luwes dan bijaksana. Namanya Bapak Ebby.
Entah apa yang mereka bertiga bicarakan. Aku sendiri bingung, masa’ aku hanya duduk bengong sementara orang lain sibuk berkicau kesana – kemari.
Ku sapu pandanganku mengelilingi tempat itu, seperti sebuah kipas angin yang berputar ke kiri dan ke kanan. Ada banyak benda disana. Dua meja. Satu di sebelahku, dan satunya dipakai oleh ketiga orang itu. Ada laptop juga. Dan proyektor. Tidak lupa, banyak kertas putih dengan huruf baku diatasnya berserakan di atas meja. Hmmm… sepertinya tempat ini tidak asing bagiku.
Belum habis mengabsen benda – benda itu, terdengar suara manusia hinggap di telingaku.
“Saudara Oki”.
Untuk sesaat, suasana berubah. Yang tadinya berisik dengan kumpulan kata – kata ketiga orang itu, menjadi sunyi senyap. Hening. Seperti upacara kematian seorang jenderal purnawirawan.
Oh… ternyata….
Adalah Bapak Bayu, yang bersuara dengan lantang memanggil namaku.
Glek…. Aku menelan ludah. Tubuhku bergetar. Aku tidak siap menerima perkataan Bapak Bayu selanjutnya. Tapi aku terus berdo’a agar semuanya akan berhasil dengan baik.
Dan, dengan tegas, Bapak Bayu pun membuka mulutnya, mengeluarkan beberapa kata yang mengubah segalanya.
“Anda lulus. Nilai anda A.” Alhamdulillah, aku lulus ujian skripsi!!!
TAMAT