Mohon tunggu...
Deni Fitra
Deni Fitra Mohon Tunggu... Dosen - Pribadi sederhana yang berharap sekeluarga masuk surga

kebersamaan adalah permulaan menjaga kebersamaan adalah kemajuan bekerja bersama adalah keberhasilan (henry ford)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangunkan Peternak Riau

20 Desember 2019   03:00 Diperbarui: 20 Desember 2019   03:04 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

OPINI Sempena Ibadah Kurban 1440 H
"MEMBANGUNKAN PETERNAK RIAU"
Oleh : Deni Fitra

Bogor, 3 Agustus 2019


Media sosial baru-baru ini hangat membicarakan tentang rencana
Jakarta menjadi tuan rumah ajang Formula E. Tak tanggung-tanggung orang
nomor satu di Jakarta Anies Baswedan mengatakan Formula E dapat
menghadirkan manfaat ekonomi 78 juta euro atau setara dengan 1,2 triliun
rupiah. Multiplier effect yang beliau sampaikan ialah akan banyak orang
berkumpul di Jakarta baik dari dalam maupun luar negeri. Perputaran
ekonomi dibidang transportasi, perhotelan, kuliner dan pariwisata akan
menggeliat. Jakarta akan jadi sorotan dunia dan yang tak kalah penting
adalah membantu kampanye peduli lingkungan karena Formula E
merupakan balap mobil dengan tenaga listrik bukan bahan bakar fosil.


Lantas, apa hubungan dengan ibadah kurban?. Sebuah momen hari
raya umat islam diseluruh dunia yang telah menjadi agenda rutin tahunan
tanpa terkecuali. Sering kita mendengar dari ustadz, penceramah, bahkan
pengamat ekonomi bahwa ibadah kurban katanya tidak hanya sekedar
memiliki dimensi ketuhanan dan kemanusiaan, tetapi memiliki dimensi
ketahanan ekonomi. Artinya adalah pesta penyembelihan hewan kurban juga
harusnya memiliki multiplier effect, bahkan jauh lebih besar manfaat
ekonominya dibanding ajang Formula E di Jakarta. Bayangkan saja seorang
muslim yang berkelapangan akan mengeluarkan uang minimal 2,5 juta untuk
ikut menjadi peserta kurban setiap tahun, kami ulang kembali setiap tahun.
Karena kalau tidak ancaman Rasulullah saw "janganlah mendekati tempat
sholat kami" (HR Ahmad). Andaikan benar pernyataan politisi PKB di DPRD
Riau bahwa 60% masyarakat Provinsi Riau berkurban (goriau.com posting 23
Juli 2019), bisa dibayangkan berapa banyak hewan kurban yang perlu
dipersiapkan peternak Riau. Mungkin sudah lama peternak kita hidup
sejahtera jauh dari kemelaratan.


Malangnya, hewan kurban tahun ini yang diperkirakan mencapai
33.266 ekor menurut Plt Kadis Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Riau Elly Suryani, ternyata 90 persennya didatangkan dari luar. Diantaranya
berasal dari Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Lampung (gatra.com
posting 23 Juli 2019). Artinya ini apa, kita yang berpesta pora tapi orang lain
yang mendapatkan kado, amplop dan parcelnya. Hanya 10 persen saja
peternak Riau yang mendapatkan manfaat ekonominya, selain itu jadi
penonton dan gigit jari. Jadi timbul pertanyaan orang awam, kemana perginya
kelompok tani binaan Dinas Peternakan disetiap Kabupaten/Kota. Kemana
kelompok tani yang di advokasi anggota dewan melalui program aspirasinya.
Kemana kelompok tani yang menjadi mitra perguruan tinggi/akademisi dalam
setiap kegiatan pengabdian masyarakatnya.


Seandainya kalau kita mau berhitung, sapi sejumlah 33.266 ekor
dengan harga rata-rata 15 juta/ekor. Maka hampir 500 milyar uang
masyarakat Riau berputar saat Hari Raya Idul Adha tahun 2019. Tetapi
sayangnya potensi angka 500 milyar diatas tidak membuat peternak
bergairah untuk mengambil. Ada apa dengan program Dinas Peternakan
selama ini, kenapa belum mampu menyediakan hewan kurban dari peternak
lokal. Disisi lain, kemana hasil-hasil penelitian para akademisi di perguruan
tinggi, sebagai otokritik kepada penulis yang juga merupakan akademisi.
Konon dari hasil penelitian, potensi kelapa sawit di Provinsi Riau memiliki nilai akseptabilitas 30% dan berpotensi memberikan pakan 1,75 juta ekor
sapi sepanjang tahun. Kenapa hal ini tidak dilakukan diseminasi kepada
peternak, sehingga gaung integrasi sapi dan kelapa sawit (SISKA) bisa jadi
andalan Provinsi Riau.


Diakui memang, sudah banyak program yang telah dilakukan
pemerintah untuk memajukan bidang peternakan. Dengan harapan bisa
swasembada pangan khususnya ternak sapi potong, walaupun diundur lagi
targetnya menjadi tahun 2026. Berdasarkan hitungannya untuk swasembada
tersebut Riau memerlukan lebih dari 500 ribu ekor sapi. Sehingga ditahun
2016 yang lalu program Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Wajib Bunting)
mulai diberlakukan di Provinsi Riau. Tak tanggung-tanggung kegiatan ini
menelan dana sekitar 22 milyar, dengan rincian 13,1 milyar dari APBN dan
8,9 Milyar dari APBD. Waktu itu Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan A. Patrianov sesumbar mengatakan mulai tahun 2017 akan ada
peningkatan angka kelahiran sapi 56.265 ekor setiap tahun (rri.co.id posting
30 Desember 2016). Selain itu juga ada program bantuan dalam bentuk hibah
sapi yang terus dilakukan tiap tahun, dimana jumlahnya tidak sedikit. Tahun
2018 saja tidak kurang dari 1170 ekor sapi sudah disebar dimasyarakat
melalui kelompok tani.


Semua kegiatan dan program yang telah dilakukan diatas belum
menghasilkan pertumbuhan populasi ternak sapi potong yang signifikan.
Kurun waktu delapan tahun, populasi sapi hanya bertambah sekitar 70.000
ekor saja. Menurut data BPS (2019) populasi sapi potong Provinsi Riau tahun
2010 berjumlah 180.000 ekor dan 2018 berjumlah 250.000 ekor. Oleh karena
itu, kita mungkin perlu belajar strategi dari Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Sebuah daerah disebelah timur Indonesia, tergolong
miskin, minim sumber daya alam, didominasi oleh lahan kering dan gersang.
Beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim
kemarau lebih panjang yaitu 7-9 bulan. Dan yang pasti berbeda dengan kita
adalah mereka tidak memiliki kebun kelapa sawit. Tapi kenyataannya
sekarang NTT menjadi lumbung sapi nasional. Bermodalkan populasi sapi
lebih dari 1 juta ekor, NTT mampu mengirimkan sapi sekitar 70.000 ekor
setiap tahun keluar daerah. Untuk diketahui tahun 2008 populasi sapinya
hanya 80.000 ekor saja, hebatnya selama 10 tahun populasi sapinya naik
sekira 900 ribu ekor (kupang.tribunnews.com posting 16 Juli 2018).


Belajarlah dari Provinsi NTT, perlu adanya cara yang efektif untuk
memajukan per"sapi"an di Provinsi Riau. Menurut penulis indikator
keberhasilannya sederhana saja yaitu tersedianya hewan kurban dari
peternak lokal 100%, tanpa datang dari luar daerah. Ada beberapa cara yang
bisa adopsi dari NTT. Pertama adalah dengan membangun mental peternak
Riau agar memiliki marwah dan bangga sebagai peternak. Tidak menjadi
peternak bermental cengeng yang hanya mengandalkan bantuan dan hibah
dari pemerintah tahun ke tahun. Di NTT, seseorang yang memiliki sapi atau
babi dengan jumlah yang banyak akan disebut bangsawan dan memiliki
kedudukan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan profesi yang lain.
Kedua memastikan pasokan pakan ternaknya tersedia. Hal ini sangat penting
mengingat pakan merupakan komponen biaya usaha peternakan terbesar
bahkan hampir 70%. Dari banyak pengalaman kita bisa melihat berapapun
bantuan sapi yang diberikan tanpa ketersediaan pakan yang jelas, sapinya
akan hilang dan tinggal kandangnya saja. Kalau di NTT yang dikembangkan
adalah Jagung sebagai sumber pakan sepanjang tahun, maka kita juga bisa
duplikasi ini. Atau karena kita punya kelapa sawit, maka hendaknya sinergi peternak dengan perusahaan kelapa sawit mesti terjalin. Limbah kepala sawit
mulai dari pelepah, janjang kosong bahkan solit dapat menjadi sumber pakan
ternak. Dan sebaliknya kotoran dan urine sapi bisa menjadi pupuk bagi
kelapa sawit.


Ketiga adalah dengan membangun infrastruktur baik fisik dan sdm
yang efektif dan bernilai guna. Tidak ada lagi kandang yang dibangun dengan
uang negara yang tidak termanfaatkan. Terutama milik dinas peternakan
seperti balai bibit, plaza ternak dan sebagainya. Miris melihatnya karena
kandangnya ada tapi bibit atau sapinya tidak jumpa. Selain infrastruktur
fisik, sdm teknis yang professional juga perlu di upgrade mental maupun
keahliannya, sehingga bangga menjadi pendamping peternak menuju
peternakan yang sukses.


Keempat membangun jaringan tataniaga yang luas dan saling
terkoneksi berbasis Teknologi Informasi 4.0. Menguntungkan peternak lokal
dan membatasi suplai sapi dari luar daerah. Sehingga peternak akan merasa
aman dan nyaman beternak karena terjamin pemasaran, mudah aplikasinya
dan daring (online). Ditambah lagi dengan adanya asuransi ternak, makin
klop ini punya barang. Kelima, ini khusus untuk momentum kurban saja.
Budidaya sapi kurban berbasis masjid. Pengurus dari jauh hari sebelum hari
kurban telah membuat kesepakatan dengan peternak untuk bekerja sama.
Seperti programnya "kampoeng ternak", sebuah model ternak berkelompok
yang telah berkembang di Indonesia dan telah melibatkan 1564 petani dan
peternak miskin di 18 Provinsi. Inisiotornya adalah pengurus masjid.
Masyarakat dan jamaah masjid bisa mulai menabung dan berinvestasi jauh
sebelum momen kurban, sehingga iuran kurbannya terasa tidak berat.
Manfaat lain adalah keuntungan yang diperoleh bisa menjadikan masjid lebih
mandiri secara keuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun