Mohon tunggu...
Dennis Afri Saptanto
Dennis Afri Saptanto Mohon Tunggu... -

Menulis. Santai. Menulis. Serius. Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kegagalan Demi Kegagalan UN

13 April 2010   14:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ujian Nasional (UN) menjadi topik pembicaraan hangat di tengah-tengah masyarakat belakangan ini. Koran, majalah, teve hingga situs-situs internet terus memberikan informasi yang berkaitan dengan Ujian Nasional. Tips untuk menghadapi ujian hingga kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan UN di tahun sebelumnya diulas tuntas dari sebelum hingga setelah ujian rampung dilaksanakan. Sebelumnya, Si empunya kebijakan, Kemendiknas bersikukuh untuk tetap menggelar UN meski Mahkamah Agung telah menolak kasasi yang diajukan oleh pemerintah. Beberapa pengamat pendidikan serta mereka yang berkecimpung langsung di dalamnya menyatakan bahwa UN sama sekali tidak mencerminkan nilai keberhasilan peserta didik. Lagi-lagi, Kemendiknas tetap nekad menggelar kegiatan ini. Regulasi dalam pelaksanaannya pun terus dipercantik dari tahun ke tahun. Akan tetapi, hingga saat ini, UN dianggap belum mampu memberikan sebuah nilai yang terasa betul manfaatnya bagi para siswa.

Ujian Nasional gagal mencerminkan keberagaman. Kemampuan siswa di setiap provinsi di negara ini masih belum merata. Di pelenggaraannya yang ke-13, tahun 2006, detik.com melansir bahwa UN yang kala itu masih memakai nama UAN menyatakan semua siswa yang mengikuti ujian yang berasal dari empat sekolah di Riau tidak lulus. Mereka gagal menamatkan pendidikan SMA-nya di tahun itu karena semua siswa di SMA PGRI Kota Dumai, MA Irsyadul Islamiyah, MA Darul Ulum dan MA Dar-Ahlussunah Waljamaah. Ironisnya hal seperti ini terjadi bukan hanya di satu wilayah provinsi. Di beberapa provinsi lainnya, khususnya di bagian Indonesia Timur, tingkat kelulusan siswanya masih tergolong rendah. Ini menjadi bukti bahwa belum meratanya tingkat kemampuan siswa di setiap wilayah. Hal ini terjadi akibat beberapa hal yang tentunya berkaitan langsung dengan kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di sekolah. Pengambinghitaman kemampuan guru masih menjadi hal yang terus digaungkan jika kegagalan itu terjadi. Hal yang juga tidak bisa dikesampingkan adalah masalah infrastruktur dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran, seperti misalnya: buku pelajaran. Tentu kita tidak akan adil jika membandingkan sekolah-sekolah yang ada di kota-kota besar dengan sekolah yang ada di daerah terpencil di pedalaman daerah. Untuk “mengakalinya” agar terlihat adil, UN di satu provinsi –bahkan kotamadya- dibedakan satu dengan lainnya. Ini malah menjadi sebuah hal yang konyol. Niat untuk menjadikan UN sebagai sebuah langkah standarisasi pendidikan di negeri ini jelas-jelas dipaksakan.

Ujian Nasional gagal memberikan penilaian terhadap siswa. Dengan menjadikan nilai hasil Ujian Nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa, Kemendiknas jelas telah lalai dan gagal memberikan penilaian secara objektif terhadap diri seorang siswa. Hanya aspek kognitif dari siswa sajalah yang terus menjadi penilaian tunggal dalam penentu kelulusan. Aspek keterampilan(psikomotorik)
hanya disajikan sebagai bumbu penyedap dalam praktik yang dilaksanakan di sekolah-sekolah menengah kejuruan. Sedangkan, aspek afektif(sikap) benar-benar ditinggalkan dalam penilaian penentu kelulusan ini. Padahal, ketiga unsur di atas tidak dapat diabaikan salah satunya dalam usaha pemantauan kelayakan lulus tidaknya siswa. Jika pelaksanaan UN ditujukan untuk meningkatkan standarisasi pendidikan, jelas bahwa ada aspek yang diabaikan dalam peningkatan standarisasi tersebut. Akibatnya, kegagalan dalam membina mental siswa justru akan terwujud. Hak istimewa guru untuk menentukan layak atau tidaknya seorang siswa seperti dicerabut paksa dengan adanya keputusan bahwa keputusan lulus atau tidaknya siswa ada di tangan otoritas tertinggi pendidikan di negeri ini, Kemendiknas. Dampaknya, siswa akan gagal dalam mengenali kemampuan diri serta terus berpatokan pada nilai dan angka pada setiap pekerjaan yang dilakukannya di masa depan.

Ujian Nasional gagal mengedepankan nilai-nilai luhur bangsa. UN seperti momok yang sangat menakutkan bagi setiap siswa yang akan menghadapinya. Tak ayal, hal ini menyebabkan beberapa dampak negatif yang timbul akibat penyelenggaraan UN. Kaburnya nilai-nilai kejujuran bisa kita lihat terpajang di etalase-etalase pemberitaan UN setiap tahun. Ujian Nasional saat ini semakin erat kaitannya dengan kecurangan. Ini tidak lepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang sembrono. Mental, tenaga dan pikiran siswa seperti terkuras habis dalam waktu singkat. Ini tentunya juga menjadi letak pengabaian proses belajar dua tahun ke belakanga. Standar kelulusan terus ditingkat setiap tahun. Di sisi lain, terlihat tidak adanya perubahan dan perbaikan dalam skema penerapan Ujian Nasional. Orangtua ikut dibuat pontang-panting memikirkan nasib anak-anak mereka. Berita tentang bocornya soal ujian seperti sudah menjadi hal yang lumrah kita saksikan di media massa. Kapanlagi.com merilis berita bocornya soal ujian terjadi di beberapa daerah, salah satunya terjadi di Kupang, NTT. Di hari ketiga pelaksanaannya SMK Negeri 3 Kupang kedapatan memberikan kunci jawaban kepada setiap siswanya. Ironisnya, pemberian kunci jawaban justru dilakukan oleh oknum pengawas ujian. Ini menjadi indikasi yang kuat untuk mengatakan UN gagal mempertahankan nilai etika dan moral positif yang menjadi ciri bangsa Indonesia.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa Ujian Nasional yang merupakan satu-satunya penentu kelulusan siswa saat ini masih belum dapat diandalkan untuk dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Pemerintah seharusnya lebih fokus kepada perbaikan mutu pendidikan di daerah. Membantu pembangunan sekolah-sekolah di daerah sepertinya lebih bijak ketimbang menghabiskan anggaran pemerintah hanya untuk menukarnya dengan kertas-kertas ujian yang hanya berguna pada satu waktu saja. Selain itu, pemerintah melalui Kemendiknas seharusnya memberikan porsi yang sama kepada psikomotorik dan afektif sehingga dapat berjalan selaras dengan kemampuan kognitif siswa. UN semakin tidak terasa fungsi positifnya ketika nilai-nilai luhur, seperti: kejujuran, harus gugur. Ujian Nasional sangat berkaitan erat dengan nama baik keluarga, orangtua, bahkan sekolah. Lagi-lagi, Kemendiknas gagal dalam memperhitungkan hal tersebut sehingga kecurangan-kecurangan marak terjadi mengiringi pelaksanaan UN dari tahun ke tahun tanpa adanya tindakan nyata dalam mengatasi hal tersebut. Selanjutnya, kita harus bertanya pada pemerintah, apakah peningkatan standar pendidikan di negara ini bisa diwujudkan jika kita berkaca pada fakta-fakta di atas?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun