“Seiring berdetaknya jarum waktu..
rasanya bulan begitu enggan untuk meninggalkan malam,..
Mataharipun enggan rasanya datang mengusir bulan yang selalu menghiasi malam...
Malampun terasa mendarah daging malam ini...
Dikeheningan malam melihat bintang bekerlipan...
Ruang hati yang begitu hampa...
Ruang hati yang begitu berangan-angan..
Menyerukan berbagai jeritan yang tiada hentinya...
Ibu, aku pulang...
Aku rindu masakanmu dan puisi – puisi yang tak tertuliskan olehmu...
Aku rindukan hardikmu,..
Aku ingin meluapkan kekosongan, kehampaan kesuraman hatiku..
Hamparan selimut malam yang menguliti jiwaku...
Menggoda akan rasa yang terus saja ada..
Tak berhenti mengalir bagaikan embun yang basahi rumput hijau...
Jiwaku tak bergeming akan malam yang menetas sepi akan rindu yang berjalan kaki..
Jiwaku akan selalu menelusuri pada indah kabut yang susuri gunung...
Jiwaku harus menghilang...
Menemui langit yang belum terdaki..
Dalam kesendirian malamku..
Kutelusuri kabut malam dengan rembulanmu...”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H