Hidup di hari-hari belakangan ini sesungguhnya lebih nikmat, terutama bila Anda hidup bersama buku-buku. Hutan boleh semakin gundul, bumi boleh gonjang-ganjing (ya jangan dong), dan lapisan ozon bisa saja makin lebar menganga. Akan tetapi selama masih ada buku-buku, insya Allah kita tidak akan kehabisan penghiburan untuk segala (pembenaran) yang dibutuhkan.
Umpamanya: menurut buku-buku yang terbit sepuluh tahun terakhir, sukses itu tidak mesti kaya raya. Sukses tidak perlu meniru Bill Gates, Jeff Bezos atau Steve Jobs, Sudono Salim, Eka Tjipta, atau Erick Tohir. Sukses bisa didefinisikan menurut versi Anda masing-masing. Model kesuksesan multi-versi seperti itu agak sulit dicitrakan di media sosial tetapi buku-buku juga meyakinkan bahwa butuh banyak 'usaha' agar bisa tampil 'sempurna' di medsos: sudut pengambilan gambar yang pas, pencahayaan yang atmosferik, pose yang fotogenik, senyum yang lumrah, dan ponsel high-end agar editingnya tidak susah payah. Ditambah lagi tentunya: caption yang menarik dibaca.
Buku-buku lama seakan-akan berkata bahwa sengsara membawa nikmat. Buku-buku sekarang bilang: sengsara itu sendiri sudah mengandung kenikmatan. Soalnya hanyalah cara berpikir dan sudut pandang. Filosofinya bisa dipilih: yang rumit atau yang simpel.
Kalau buku-buku dulu bilang ayo kerja keras, buku-buku sekarang bilang kerja santai saja, yang ikhlas, tidak perlu ngoyo. Yang penting bisa menikmati hidup. Untuk apa kerja keras kalau ujung-ujungnya stres?
Buku-buku dulu bilang bahwa punya banyak harta, rumah besar, mobil mewah, plesiran ke luar negeri itu adalah simbol sukses yang mesti dikejar dengan usaha maksimal. Ditambah motivasi sedekah dari para motivator dalam negeri, sahihlah bahwa kita harus kaya harta dengan cara bekerja keras agar tidak mengemis dan mengandalkan orang lain.
Namun buku-buku yang terbit belakangan bilang makin sedikit harta malah makin baik. Seperti halnya makanan: yang sehat justru yang hambar. Seabrek filosofi tersedia untuk menerangkan premis itu.
Buku-buku yang terbit itu juga bilang perlunya berdamai dengan kekurangan diri sendiri. Bahwa hidup itu seni. Bahwa trauma harus disembuhkan, baik dengan logika self-help ala Cina, Jepang, Yunani, atau versi agama-agama. Misalnya: berani tidak disukai, berani tidak populer. Bahwa kita mesti membahagiakan diri sendiri tidak dengan cara menyenangkan orang lain. Menyenangkan orang lain jelas memiliki manfaat sosial, tetapi jangan dirimu yang senantiasa dikorbankan. Jangan biarkan dirimu sengsara lantaran selalu melayani orang.
Masa pandemi tempo hari telah memberi pengalaman yang nyaris merata kepada semua orang dan mengajari mereka makna sejati kemiskinan, wabah, stres akibat di-PHK, insecurity dan rasa frustasi. Semua ini dialami juga oleh para penulis buku hingga mereka memahami benar kesengsaraan lahir-batin para pembacanya. Para penulis tampak  punya empati mendalam akan perasaan, keinginan dan kegelisahan para pembaca di dunia nyata, sehingga sejumlah buku meledak menjadi best seller. Â
Menyebut contoh yang lain: tahun 2000-an dahulu pernah ada masanya virus 'pengusaha' menjalar lewat seminar-seminar dan buku-buku. Kenekatan, keberanian berusaha tanpa rencana dan tanpa tujuan justeru merupakan perkara terpuji. Kemudian terbitlah buku-buku yang menyatakan: siapa bilang harus jadi pengusaha? Jadi karyawan juga bisa kaya. Disusul buku-buku lain yang mewanti-wanti agar senantiasa bertindak menurut rencana dan tujuan yang jelas.
Sepertinya buku-buku itu justeru membuat kebenaran menjadi simpang siur, karena setiap proposisi jadi punya dasar argumentasi masing-masing. Namun sesungguhnya duduk perkaranya tidaklah demikian. Nasib manusia jelas tidak bisa ditiru. Setiap manusia unik dalam hal bakat dan juga takdirnya. Ketika takdir menentukan nasib yang berbeda secara jungkir balik, padahal ikhtiar meniru dan mencontoh sudah nyaris 100% --di saat itulah buku-buku yang menganjurkan berdamai dengan kenyataan menempati posisi yang dibutuhkan.
Di saat gagal itu justru kita butuh 'pembenaran' yang mendamaikan, kalau bisa bernuansa filosofis--hingga makin canggih dan meyakinkan. Orang butuh dihibur dengan logika-logika. Mereka harus diajari agar mau menerima, pasrah, tidak melawan, merunduk, dan mengikuti alur hidup yang ditentukan.
Daripada bersikap reaksioner, marah, memberontak, tidak terima, keki, ngamuk-ngamuk dengan cara menyalahkan pemerintah, lebih baik mereka kembali mendekat kepada Ilahi, menata kembali niat dan orientasi hidupnya. Niat haruslah ibadah dan orang hidup justru harus ingat mati. Dengan cara ini kesabaran makin -atau paling tidak- terasa manis dan kesusahan malah membuahkan kesyukuran. Bila taraf ini tercapai, baru bisa kita katakan: Anda telah memahami sebenar-benarnya arti sejati 'seni' dan 'kedamaian'.