Catatan Diri: Polemik Pengguna KRL
Embun menetes di ujung dedaunan, mentari masih bersembunyi, sementara bintang sudah pulang. Aku beranjak dari singgasana, selimut dilucutkan dari fungsinya, ingin rasanya menarik kembali dan bersebunyi di baliknya. Namun, aktivitas dalam dua hari ini membuat rutinitas baru dengan sistem yang berbeda untukku. Aktivitas di salah satu tempat dengan jarak yang lumayan jauh dan macet untukku sehingga membuat aku harus mencari alat transportasi umum yang cepat. Aku putuskan untuk naik kereta api listrik (KRL) meskipun harus melalui beberapa kali transit. Aku sengaja berangkat lebih pagi agar bisa sampai tempat tujuan dengan tepat waktu. Aku susuri jalan-jalan yang masih temaram, lampu masih bertahan sebelum matahari datang, menuju stasiun kereta api. Aku harap suasa sepi, akan tetapi ribuan orang memiliki harapan sama. Mereka berduyun-duyun mengejar kereta api agar bisa membawa mereka ke tempat tujuan sesuai jadwalnya. Ribuan orang melakukan hal tersebut dengan tergesa-gesa bukan hanya sehari atau dua hari, tetapi mereka lalui setiap hari.
Aku hanya bisa mengatakan, "Mereka hebat". Mengapa? Orang-orang yang bekerja di kantor atau tempat-tempat yang membutuhkan transportasi umum, khususnya kereta, setiap hari mereka berangkat sangat pagi mengejar kereta dan dengan kondisi kereta penuh sehingga mereka pun berdiri. Mereka bekerja keras dengan rutinitas dalam perjalanan, belum sesuai dengan pekerjaan mereka sendiri. Namun, aku hanya mengeluh ketik mengalami perjalanan ini satu atau dua kali saja. Rasa lemah diri jika dibandingkan dengan orang-orang tersebut.
Namun, menjadi ironi kembali jika kondisi tersebut dilihat dari kebijakan pemerintah dalam menanggulangi perkembangan kasus Covid-19. Prokes yang harus dijaga, salah satunya adalah menjaga jarak dengan membatasi penumpang alat transportasi umum, termasuk kereta api listrik. Sebuah analisis sendiri di lapangan, ada beberapa batasan untuk penumpang KRL dari sebelum masa pandemi menjadi saat ini. Namun, tidak terlihat banyak perubahan, kecuali hanya tanda silang yang diterapkan pada kursi kereta api. Hal tersebut hanya sebagai sesuatu yang mubadzir dan tidak ada gunanya dalam nilai menjaga perkembangan covid-19. Mengapa demikian? Tempat duduk dibatasi untuk penumpang, sementara orang yang berdiri dan memenuhi KRL lebih banyak dibandingkan yang duduk dan tampak tidak berjarak. Dengan terjadinya peristiwa tersebut tidak sejalan dengan peraturan dan kebijakan yang ada.
KRL menjadi pilihan utama sebagai alat transportasi umum yang cepat mengantarkan ke tempat tujuan, sehingga orang-orang membludak dalam penggunaannya, baik pada pagi hari saat orang-orang berangkat kerja, atau sore dan malam hari ketika mereka pulang kerja. Namun, pihak KRL tetap harus memberlakukan prokes secara ketat agar penumpang bisa menggunakan KRL secara efektif dan efisien. Jika memang banyaknya penumpang berdiri, tempat duduk bisa dikembalikan pada fungsi awalnya sehingga tidak menjadi polemik dan sebuah hal yang ironis bagi penggunanya. Yuk, meskipun era pandemi sudah mulai menurun dan newnormal, kita tetap melakukan prokes yang sesuai sehingga tidak menimbulkan klaster baru dalam perkembangan Covid-19!
Jakarta, 12 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H