Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: ADIOS - Sang Pemenang

24 Oktober 2021   21:48 Diperbarui: 24 Oktober 2021   22:21 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SANG PEMENANG

(ADS)

"Ji, cari tahu lagi tentang Badar. Aku sedang membuat cerita yang mengangkat kehidupan Badar." Pinta Zaky dengan semangat 45-nya kalau sudah menemukan inspirasi untuk tulis menulis.

"Bagaimana dengan essay-nya?"

"Tenang saja, semuanya sudah selesai dan aku sudah memberikannya pada bu Tati untuk dikirimkan."

Hari ini hari Minggu dan kami berkumpul di rumahku untuk belajar kelompok. Dengan biasanya kami bertukar pikiran dan saling bercerita tentang apa saja. Selang beberapa lama, mobil BMW datang dan diparkirkan tepat di depan teras yang aku dan kedua temanku bersenda gurau.

"Ayah??" Keterkejutanku menghenyakkan kedua temanku.

"Yoga, masuk!! Ayah ingin bicara sama kamu."

Alangkah tidak terduganya ayah tiba-tiba pulang dengan raut muka yang garang. Sepertinya ayah sudah diberi tahu ibu tentang tindakan dan pembicaraanku dengan ibu sehingga ayah marah.

"Untuk apa kamu mengikuti olimpiade matematika lagi? Sudah ayah katakan, kamu harus..." bentak ayah.

"Ayah, Yoga tahu apa yang Yoga lakukan untuk masa depan Yoga sendiri." Ucapku tidak bermaksud melawan.

"Masa depan? Masa depanmu itu meneruskan bisnis ayah dan memimpin perusahaan. Sekarang kamu melawan!!!" Kegarangan ayah semakin menjadi.

"Tapi ayah..."

"Besok kamu ikut ayah ke London, di sana kamu akan lebih mengenal tentang bisnis, kamu akan sekolah di sana."

"Tapi ayah, sebentar lagi ujian. Sudah tanggung kalau aku harus pindah sekolah. Dan besok aku harus ikut training. Ayah, Yoga bukannya mau melawan tetapi beri Yoga kesempatan untuk menentukan masa depan Yoga sendiri. Dengan begitu Yoga..."

"Kamu!!!"

Plakkk. Ayah menampar pipiku. Peristiwa ini merupakan kejadian yang kedua di rumah ini. Aku masih mengingatnya ketika ayah menampar kakakku di saat kakak menuntut kebebasan. Ayah pun mengancam kalau tidak menurut keinginannya maka nasibnya akan sama dengan kakakku, pengusiran dalam keluarga.

"Sekarang kamu pilih mau tetap di sini atau keluar dari rumah ini." Ancaman yang persis sama sewaktu ayah mengusir kakak.

Aku pun pergi meninggalkan ayah yang berdiri mematung. Sebelum aku keluar dari rumah, aku pun melongok ke kamarku untuk membawa keperluan sekolah dan merapikan pakaianku. Aku pun langsung mengajak Vandi dan Zaky untuk pergi. Memasuki mobil starlet biru menuju rumah Vandi. Mungkin aku akan menumpang dulu di rumah Vandi sebelum aku menemukan tempat kost. Apakah tindakanku ini benar?

"Sabar saja, Ji. Suatu saat orang tuamu akan menyadarinya. Dan berdoalah pada Tuhan, minta pentunjuk-Nya. Sekarang kamu boleh tinggal di rumahku sampai kapan pun." Ucapan Vandi yang suka menyejukkan hati.

"Iya, Ji. Kamu juga bisa menginap di rumahku juga. Tetapi satu hal, kejadian ini jangan mengganggu konsentrasi pikiranmu untuk mengikuti olimpiade itu apalagi sebentar lagi ujian." Sambung Zaky.

"Terima kasih kawan. Kalau tidak ada kalian mungkin nasibku sama dengan kak Arya."

"Sudahlah, kita akan selalu bersama."

Sampailah kita di rumah Vandi. Aku meminta izin sama orang tua Vandi untuk menginap di rumahnya. Merekapun meng-iya-kan karena aku sering datang ke rumahnya dan aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

"Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri." Ucap ibu Vandi dengan ramah.

"Terima kasih."

Menuju ruangan yang baru untuk sementara yaitu kamarnya Vandi. Aku sedikit lelah, maka aku pun meminta Vandi dan Zaky untuk memberikan waktu untuk aku beristirahat sebentar. Dan mereka mengerti apa yang aku lakukan dan inginkan.. Aku tertidur pulas agar melupakan sekejap persoalan yang terjadi hari ini.

Betapa cepatnya waktu berlalu. Aku dibangunkan Vandi untuk melakukan ibadah dan mengadu pada Tuhan karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Ternyata mereka berdua masih ada di kamar. Tetap dengan diskusinya dan membuka-buka buku pelajaran.

"Bagaimana? Sudah agak baikkan?" tanya Vandi ketika aku mulai membuka mata.

"Kalian masih berdiskusi?" Ucapku sambil mengucek-ngucek mata.

"Zaky sedang menyelesaikan ceritanya tentang Badar. Aku sedang mempelajari proposal yang kemarin aku buat."

"Kalian ini, tidak mengenal kata lelah. Aku bagga menjadi teman kalian."

"Kami juga bangga menjadi teman kamu, aku salut sama kamu bisa mengatasi masalah dengan pikiran dingin. Apalagi dengan keadaan seperti ini kamu masih bisa-bisanya berprestasi."

"Sudah, nanti aku bisa terbang. Sekarang aku mau ke kamar mandi dulu." Meninggalkan mereka berdua dalam keharuan.

***

Untuk melangkah menuju hari ini di rumah yang baru. Aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Vandi dengan kemeja putih dan celana abu-abunya yang sudah rapi menungguku sambil memakai sepatu. Dengan berbekal harapan aku akan menuju sekolah untuk berpamitan pada guru-guru karena aku harus mengikuti training untuk olimpade matematika. Tetapi sebelumnya aku sudah mempersiapkan satu tas pakaian untuk hidup selama dua minggu di Pusat Pembelajaran Matematika.

"Awas ada yang ketinggalan! Nanti di sana jangan meninggalkan ibadah. Tetap berdoa, kalau ada apa-apa telapon aku atau Zaky." Ucap Vandi dengan raut kekeluargaan.

Aku merasa terharu, apalagi ditambah dengan perhatian dari ibunya Vandi akan menambah kebahagiaan yang sangat besar untuk hidupku. Sehingga aku berpikir, apa bisa orangtuaku seperti keluarga Vandi. HP-ku berbunyi menyadarkanku dari lamunan yang hanya sebentar. Aku lihat namanya dari ibu.

"Yoga kamu ada di mana? Maafkan mama karena tidak bisa membantu kamu. Sekarang kamu jaga diri baik-baik." Ucap terakhir dari ibu.

Ibu. Untuk kali ini aku tidak menyalahkanmu. Sepertinya ibu sudah mulai takut kehilangan anak keduanya. Perhatian ibu untuk saat ini sangat dibutuhkan olehku. Aku tahu ibu akan selalu menyayangiku dan selama ini ibu melakukan hal seperti ini mungkin sudah terhegemoni oleh lingkungan atau dari ayah sendiri. Seorang ibu akan tetap menyayangi anaknya meski dia tidak menyadarinya.

"Telepon dari siapa? Ibumu?" Tanya Vandi.

"Iya. Sepertinya mama sudah mulai luluh hatinya karena selama ini mama tidak pernah berucap seperti ini dan perhatian seperti ini." Jawabku.

"Ayahmu pun suatu saat akan menyadarinya. Itu Zaky sudah datang."

Aku dan Vandi lekas ke uar rumah dan masuk ke mobil starlet biru. Hari ini aku memulai kehidupan baru. Seperti suasana yang baru mulai dari rumah Vandi dan sebentar lagi di Pusat Pembelajaran Matematika alias PPM. Setelah sesampainya di sekolah aku langsung menemui guru-guru untuk berpamitan. Banyak doa yang terlontar dari mulut mereka menyimpan asa untuk kesuksesanku.

"Hati-hati di sana. Dan bawa lagi medali emasnya." Celetuk salah satu guru.

Aku pun tidak melupakan kedua teman terbaikku untuk berpamitan.

"Ingat, kalau ada apa-apa hubungi kami berdua." Ucap Vandi.

"Ok. Terima kasih."

"Yoga, sukses ya untuk kamu." Tiba-tiba Naomi muncul.

"Terima kasih. Oh ya, bagaimana dengan olimpiade kimia? Kapan mulainya?" Tanyaku pada Naomi.

"Mungkin setelah ujian. Sekali lagi sukses untuk kamu. Kita di sini berdoa untuk keberhasilan kamu."

"Jagain Naomi ya." Candaku pada Vandi dan Zaky, Naomi hanya tersenyum.

Aku meninggalkan sekolah untuk menuju PPM. Dan berkumpul dengan teman baru. Sudah dua minggu aku tinggal di asrama PPM dan besok aku akan berangkat ke luar negeri. Aku pun menghubungi orang-orang terdekatu kedua teman baikku dan tidak terkecuali dengan ibu. Aku meminta doa dari mereka. Oh ya, satu lagi aku pun menelepon Naomi.

Aku tidak asing lagi untuk naik pesawat menuju luar negeri. Tetapi untuk kali ini bukan karena paksaan melainkan sebuah dorongan hati. Aku harus bisa membawa harapan untuk orang-orang di Indonesia khususnya di sekolahku. Medali emas akan aku bawa dan aku kalungkan di leherku setibanya di bandara sepulang dari kejuaraan itu.

***

Cuaca yang panas, menyengat pikiran dan fisikku. Di luar negeri yang sedang musim panas telah sedikit menganggu keberadaanku. Hari itu akhirnya tiba, aku pun mulai berpetualang dengan soal-soal matematika yang ruwet dan butuh pikiran yang tenang. Aku tidak lupa sebelum memulai mengerjakan soal-soalnya untuk berdoa pada Tuhan agar memberikan kemudahan padaku.

Waktu yang aku tunggu sudah tiba juga. Pengumuman pemenang untuk tahun ini dalam olimpiade matematika. Berdebar jantungku. Pucat raut mukaku. Dan terpejam mataku dan mata hatiku untuk mendengarkan hasilnya. Sebuah nama terdengar dari seorang juri di depan peserta dan penonton untuk juara pertama. YOGA AJI PRATAMA dengan logat bahasa Inggris namaku dibacakan dan diumumkan sebagai juara pertama. Akupun mengalami guncangan kebahagiaan yang luar biasa. Aku tidak ingin kebahagiaan ini dirasakan sendiri. Dan aku menghubungi Vandi.

***

Di sekolah SMA BAKTI INTERNASIONAL menggelegar namaku diumumkan oleh seorang guru memakai pengeras suara. Sorak-sorai mengiringi hari-hari ini dari beribu siswa-siswi sekolahku. Mereka membicarakan diriku. Memuji-muji diriku. Dan sebuah pesta diadakan oleh sekolah untuk menyambut kedatanganku. Begitu bahagianya aku dengan keadaan seperti ini. Akan tetapi, kebahagiaanku tidak sempurna karena tidak ada orang tuaku di sampingku saat ini. Tetapi sedikit terobati dengan adanya telepon dari ibuku.

***

"Pa, anak kita menang lagi di kejuaraan itu." Laporan ibu pada ayah.

"Apa gunanya? Apa akan memajukan perusahaan kita?" ucap ayah dengan ketus.

"Tapi pa, mama tidak ingin kehilangan anak kita yang kedua kalinya. Berilah kesempatan untuk Yoga. Biar dia bebas memilih jalan hidupnya."

"Mama sekarang melawan papa? Papa tidak butuh anak itu, Papa masih bisa mengurusi perusahaan sendiri."

Sepertinya pertengkaran sedang berlangsung di rumahku. Karena untuk sat ini orang tuaku sedang berada di rumah. Entah ada angin apa mereka bisa bersama-sama berada di rumah dalam waktu yang sama. Ujung dari pertengkaran itu adalah ibu meminta cerai pada ayah. Ibu sudah meneleponku dan mengatakan kalau aku harus kembali ke rumah. Ibu juga menceritakan kalau dia akan bercerai dengan ayah. Tapi aku tidak menyetujuinya.

"Yoga harap mama memikirkannya lagi, beri kesempatan untuk ayah." Kataku yang sok bijaksana.

"Ayahmu tidak akan berubah. Mama ingin menebus kesalahan mama. Makanya daripada tidak bisa melaksanakannya hanya gara-gara ayah lebih baik mama bercerai."

"Tidak, Ma."

Percakapan itu di saat ibu berkunjung ke rumah Vandi. Aku mengatakan bahwa selama ini aku menginap di rumah Vandi dan maksud kedatangan ibu untuk menjemputku. Selama ini ibu tidak mengetahui keluarga Vandi meski aku dekat dengan keluarga Vandi. Dan untuk saat ini setelah pulang dari kejuaraan itu, aku pun mendapatkan kebahagiaan yang kedua kali dengan kembalinya ibu. Aku pun mengikuti keinginan ibu untuk kembali ke rumah. Ibu mengatakan untuk sementara waktu perusahaannya digantikan oleh pak Wahyu, asisten pribadi kepercayaan ibu. Untuk kali ini ibu ingin bersamaku di rumah. Alangkah bahagianya aku.

Sesampainya di rumah, sudah ada ayah yang sedang menunggu di ruang keluarga. Dan ayah pun langsung menyambar kami dengan perkataan yang memohon.

"Mama, maafkan ayah. Jangan ceraikan ayah. Ayah sangat mencintai mama." Mohon ayah.

"Ayah, di sini bukan hanya ada mama saja tapi di sini sudah ada Yoga. Kalau ayah mau berubah ayah juga harus melaksanakan syarat lain untuk memperbaiki keutuhan keluarga maka mama tidak akan menceraikan ayah." Untuk kali ini ibu yang berkuasa.

"Mama ingin ayah memberi kebebasan untuk Yoga memilih masa depannya. Kita boleh berperan dan memberikan pengarahan sebagai orang tua tetapi tidak terlalu masuk dalam asa Yoga untuk bebas memilih masa depannya." Ucap Ibu dengan bijaksana.

"Baik ma." Ayah pun menyerah dan langsung meminta maaf kepadaku sambil memelukku.

"Terima kasih ma, pa. maafkan Yoga juga" Ucapku dengan terharu.

Terima kasih Tuhan, ucapku dalam hati. Pelukan sekeluarga yang sangat jarang ada dalam keluargaku tetapi untuk kali ini kami bertiga berpelukan dengan rasa haru dan saling meminta maaf satu sama lain. Akhirnya aku kembali untuk merasakan keharmonisan keluarga. Semoga ini untuk selamamya. Ayah sudah tidak terlalu sering membicarakan bisnis di rumah kecuali kalau ada hal-hal penting. Begitu pun ibu yang sekarang sering ada di rumah dan memasak untuk makan keluarga. Kebahagiaan ini pun dirasakan bi Lasmi dan teman-temanku. Aku sekarang sudah menjadi JUARA yang sempurna karena bisa memenangkan dua hal dalam satu waktu, prestasi dan keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun