Oleh Rakyat.
Di sekitar 1664, ada sebuah lakon drama komedi yang cukup kontroversial di Prancis. ‘Tartuffe’ adalah sebuah karya dari dramawan Moliere, yang pertama kali di pentaskan di versailles dan langsung disensor karena tantangan dan protes oleh kalangan agamis (Devots), dimana kalangan ini sangat berpengaruh pada masa kekuasaan Raja Louis XIV, meski Raja sendiri sebetulnya tidak berkeberatan secara pribadi. Namun nampaknya desakan terlalu kuat.
Diceritakan di masa itu, sekitar 1660-an, tersebutlah seorang bernama Tartuffe, pria dengan karakter yang menarik. Berawal dari gelandangan yang kemudian ditolong oleh pria yang bernama Orgon, kepala keluarga dan suami dari Elmire, ayah Mariane dan Damis.
Kemudian Tartuffe, dengan lihainya mengambil hati Orgon dengan berpura-pura sebagai pribadi yang religius, memiliki pandangan spiritual yang dalam, berserah diri serta mengklaim dapat berbicara dengan Tuhan. Dia menjadi penasehat keluarga yang paling didengar. Sebetulnya keluarga yang lain sudah mencium gelagat anehnya, dan pula mengetahui bahwa Tartuffe tak lebih dari seorang yang licik dan munafik. Maka dibuatlah skenario untuk menjebak Tartuffe, dan ketika jebakan itu mulai masuk perangkap; mencoba merayu Elmire, Damis sang anak tak tahan lagi maka segera keluar dari persembunyian hendak memukul. Saat Orgon masuk ke kamar tersebut, sifat mudah dipengaruhinya lagi-lagi terjebak. Tartuffe tidak lantas berbohong, malah berkata:
“Oui mon frere, je suis un mechant, un coupable. Un malheureux pecheur tout plein d’iniquite.” yang terjemahannya kurang lebih: “Ya saudaraku, aku memang jahat sejahat-jahatnya, Bersalah, penuh dengki, dan dosa.” Hasilnya signifikan, Orgon malah yakin Damis berbohong dan mengusirnya dari rumah. Seiring waktu, Orgon menyerahkan hak kepemilikan harta pribadi dunianya pada Tartuffe.
Sang kreator cerita, Moliere bukannya tidak mengalami ancaman serius. Jika tidak karena intervensi Raja, mungkin dia akan berakhir mati dengan tuduhan murtad dari pihak agamis.
Ini mungkin hanya Fiksi. Meski sebagaimana lazimnya karya-karya seni tidak lahir sendiri dari pikiran gila sang seniman. Seni lahir dari pertentangan ideal dan realitas nilai di masyarakat pada waktu tertentu. Inspirasinya seringkali berasal dari kejadian nyata.
Maka intrik Tartuffe tadi adalah Psikologi Terbalik (Reverse Psychology), yang pertama kali di populerkan oleh Adorno dan Horkheimer di tahun 1970-an. Beberapa abad sesudah Tartuffe dibuat. Inti teori dan pemikiran ini adalah mengatakan pada orang lain sesuatu yang berlawanan dengan apa yang anda ingin mereka lakukan atau percaya. Sesungguhnya, politik itu bukan hal baru.
Sehari-hari, bukankah kita cukup lumrah dengan kata-kata:
“Harga tidak menipu, barang model ini sama pasarannya, kalau tidak percaya bapak cek toko sebelah deh.” Kata Ngkoh pedagang. Efeknya calon pembeli malas, sambil menimang-nimang lama barang itu lalu diam di tempat tidak kemana-mana.
“Ayo, ceraikan aku, ceraikan aku kalau mas sudah ‘nggak tahan lagi!” Tantang seorang istri pada suaminya di sinetron episode ke 100. Akhirnya si suami menyadari kelepaskendaliannya lalu meminta maaf. Bersambung ke episode 101-selanjutnya.
“Lagi males update status.” Kata si Alay di twitnya yang kesekian ratus.
Sekarang cukup sering juga dipakai sebagai bahasa marketing yang mencolok. Terkesan ‘beda’. Differensiasi.
Tahu acara ‘The Comment’ di NET? Taglinenya selalu diulang-ulang, “Jangan nonton acara ini, ngapain, buat pinter nggak, bikin ganteng nggak.”
Pernah juga kan kita lihat spanduk-spanduk jualan di jalan:
“Jangan lihat ke kiri. Ada restoran lezat." Atau “Batagor disini tidak enak.” Yang paling sering tapi agak soft, “Tidak enak, uang kembali.”
Psikologi terbalik ini bagian dari pencitraan diri. Tidak ada yang salah, sah-sah saja. Namun dalam politik, pencitraan sendiri harus diteliti lebih lanjut.
Di dalamnya harus ada semacam diskursus dan penilaian-penilaian tertentu selain sifat temporal yang ‘berkesan’. Sebagai awam diluar sistem, ada baiknya kita melihat dari unsur-unsur track-record, gesture dan mimik, konteks kejadian yang aktual, konsistensi, ideologi, dan lain-lain. Maka aneh saja, jika ada pejabat tiba-tiba misalnya, blusukan masuk komunitas rakyat kecil yang kumuh, becek, bau. Sedangkan sebelumnya sangat jarang dilakukan, kecuali menjelang Pemilu atau sedang trend yang ampuh mengambil hati masyarakat.
Atau jika ada pejabat yang mengatakan:
“Ini sepenuhnya salah saya. Jangan salahkan yang lain, salah saya.” Ketika pejabat lainnya takut bersikap, maka differensiasi itu sedang berjalan. Maka arti dari kalimat itu adalah...silahkan terjemahkan sendiri. Saya hanya sedang mengatakan bahwa yang bersangkutan adalah seseorang yang cukup cakap, banyak membaca, penuh pengalaman. Tidak ada maksud lain, tidak tendensius. Itu saja. Terdengar psikologi terbalik.
Maka jangan heran nanti, setelah hari ini jika ada pejabat, politikus, parpol yang berkata :
"Kami mungkin bukan yang terbaik, tapi kami telah dan akan berjuang semaksimal mungkin." Maka jurus Salesman Politik sedang presentasikan ide brilian Tartuffe saudara-saudara.
Sungguh peristiwa kenaikan elpiji yang kemarin itu sangat komedi.
Maka saya copy-paste-kan apologi terjemahan Moliere terhadap lawan-lawan pemikirannya seperti tertuang di ‘Lettre’;
“Kelucuan adalah bentuk luar dan nampak yang diberikan alam kepada segala sesuatu yang tidak masuk akal, agar kita bisa melihat, dan menghindari, hal itu. Katidakcocokan adalah hakekat dari kelucuan. Artinya semua kebohongan, penyamaran, penipuan, pemalsuan, semua penampakan luar yang berbeda dengan kenyataannya, semua kontradiksi dalam kenyataan dengan tindakan yang berasal dari satu sumber, semua ini pada intinya adalah kelucuan.”
Kalimat eksepsi yang tidak luar biasa.
Ilustrasi: http://www.gutenberg-e.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H