Mohon tunggu...
D. Hardi
D. Hardi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lahir di fiksiana sewaktu bulan terbelah dan sepoi angin mengembuskan sarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sebelum Gelap Menjadi Warna

13 April 2018   17:01 Diperbarui: 13 April 2018   17:46 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.artesdelasfilipinas.com

Kau bergumam tentang warna cahaya. Sebelum mengukur panjang spektrum dan pigmen yang menguar dari kulit matang, marilah sejenak kita mengosongkan arti keinginan. 

Kamus di kepala membuat kata berprasangka. Kadang sebatas bahasa pengelabu mata. Itulah sebabnya waktu berumpama gerbong kereta yang kukuh dalam lintasan, sesekali berhenti di peron, untuk lesat melaju ke tujuan karena sekarang adalah kenangan bagi masa depan. 

Kecantikan langit tak lantas melukis kekal di balik kabin. Gerimis dan bianglala merajuk bergantian. Pun eksotisme laut kelak membenamkan senja ke peraduan lebih dini menyambut malam pemuntal impian orang-orang. Kau menyela di belakang jendela masa lalu yang iseng menutup dan membuka celahnya. Bak ruam yang butuh perhatian. 

Dalam gelap yang memapah, cahaya mengasah ujung belati bermata dua. Menggenap riuh di perayaan meriah, menabur benih pencerahan diam-diam. Matamu berbicara. Cahaya menunggu membacanya. Membaca masa tertentu di tautan silam yang tak berwarna. Di waktu sunyi, cahaya adalah perantara doa yang berlinangan pada gelap yang melangkah sepertiga. Masih pantaskah makna berlindung di balik warna? 

Yang mengelir kutub bendera. Pewaris kromosom. Gradasi kesucian. Rona meluntur di wajah kita. Ranggas kering yang melatari musim perpisahan tiba. Ah! asap-asap kretek itu tak lagi memedulikan kematian. Ia pecah bukannya kalah. Membentur langit rumah di saraf sempit amygdala. Kau terus bergumam tentang warna cahaya yang terjebak di mesin-mesin pintar. 

Mereka tak bertengkar berebut besaran data. Mereka sabar membujuk waktu yang terkorosi. Mesin-mesin itu bernyawa lebih dari penciptanya. Dan kita menyimpan nyawa di balik warna-warna mesin yang saling bersaing meretas rahasia.

(Bojongsoang, 2018)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun