11 april 2018 lalu, Prabowo menerima mandat dari partai Gerindra yang menghendakinya untuk kembali maju sebagai capres pada Pilpres 2019 mendatang. Tetapi ada yang janggal dari deklarasi Prabowo sebagai capres dari partai Gerindra di kediaman Prabowo dihambalang tersebut.
Apa yang janggal? Suasana meriah dan riuhnya kurang terasa, apalagi rapat konsolidasi nasional Partai Gerindra tersebut tertutup untuk media massa. Suasana riuh terjadi ketika perhelatan usai, dengan Prabowo bertelanjang dada dengan dipanggul oleh ratusan kader Gerindra.
Dalam tradisi militer, dipanggulnya sang komandan adalah bukti solidaritas sekaligus tak berjaraknya antara komandan dan prajurit. Dan tentu saja sebagai orang nomor satu di partai Gerindra, Prabowo telah mengajarkan para kadernya tentang tradisi militer mengenai hubungan langsung antara pimpinan dan para bawahan.
Meskipun diakhir acara ada riuh dipanggulnya Prabowo oleh para kader Gerindra, tetapi kok rasanya ada yang kurang dari deklarasi capres Prabowo yang diberikan mandat oleh Gerindra tersebut?
Secara logika tentu saja Gerindra sangat menginginkan sang ketua umum panutannya tersebut untuk maju sebagai capres pada Pilpres 2019 mendatang. Karena jika Prabowo maju, biarpun menang atau kalah, imbas melonjaknya elektabilitas Gerindra akan sangat terasa pada pemilu nasional 2019 mendatang. Minimal posisi partai terbesar kedua akan ada ditangan partai Gerindra.
Tetapi ada makna tengah menggantungnya siapa capres Gerindra kedepannya, serta tentu saja tak menutup kemungkinan Gerindra akan mengusung capres lain selain Prabowo. Karena meskipun Prabowo menyatakan kesanggupannya sebagai capres dari Gerindra, ditengah kerumunan para kader yang berhadap dirinya maju, tetapi seakan ada yang menggantung dari deklarasi tersebut.
Antara basis massa pendukung Prabowo dan basis massa pendukung capres alternatif
Dalam kutub basis massa yang tidak memilih Jokowi, saat ini terbagi atas dua kelompok, yaitu basis massa pendukung Prabowo dan basis massa pendukung capres alternatif selain Jokowi dan Prabowo.
Berdasarkan survey dari Median yang dilakukan pada 1-9 Februari 2018, responden yang memilih Jokowi sebesar 35 persen. Sedangkan yang memilih Prabowo 21 persen. Jika digabungkan elektabilitas Jokowi-Prabowo adalah 56 persen. Itu berarti ada massa mengambang yang cukup besar yaitu 46 persen yang ingin memilih calon diluar dari Jokowi dan Prabowo.
Nah, dari 46 persen yang ditemukan oleh Median tersebut yang ternyata menginginkan calon diluar Jokowi-Prabowo. Ada 3 nama potensial yang akan menjadi kuda hitam, yaitu Gatot Nurmantyo, Anies, dan AHY.
Itu berarti distribusi suara yang 46 persen tersebut terbagi kepada ketiga calon alternatif tersebut, belum lagi nama Tuan Guru Bajang atau Gubernur NTB dua periode tersebut juga tengah naik daun namanya.