Saya hanya ingin menyampaikan sebuah refleksi akan pesan dari film yang telah beberapa waktu lalu tayang di bioskop tanah air, yakni Snowden (2016). Film yang berdasarkan kejadian nyata yang terungkap tiga tahun silam, merupakan skandal, guncangan besar, sekaligus pukulan telak bagi Amerika Serikat untuk kesekian kalinya. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, masyarakat Amerika berharap kepada kehidupan modern yang lebih baik seiring dengan ideologi negara yang mengedepankan demorasi liberal, sesuai impian dan harapan masa depan. Utopia publik akan kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan dan kenyamanan tampaknya akan menjadi kenyataan.Â
Namun sejarah berkata lain, peristiwa Perang Dingin dengan Uni Soviet (kini Rusia), Perang Korea, Krisis Misil Kuba, Perang Vietnam, Pembunuhan JFK, Skandal Pentagon Papers, Skandal Watergate, 9/11, Perang di Afganistan, Irak dan Suriah, Wikileaks hingga pemboman serta penembakan massal yang kini gencar terjadi di ‘tanah impian’, lagi-lagi membuat rakyat Amerika berada dalam ketidakpastian gejolak politik.  Apa yang sebenarnya terjadi? Lagi-lagi konspirasi? Siapa yang salah?
Fokus cerita film Snowden (2016) yakni tentang perjalanan Edward Snowden, dari seorang prajurit, beralih profesi menjadi ahli komputer intelijen C.I.A. dan N.S.A., hingga akhirnya memutuskan keluar dan membocorkan dokumen rahasia kepada publik, melalui beberapa media ternama. Dengan plot non-linear yang berpindah mundur-maju dari tahun 2013, intinya terbagi dalam beberapa bagian: dimulai dari tahun 2004 pada saat Snowden menjadi tentara; Â pada saat Snowden aktif di C.I.A yakni training dan bertugas di Swiss dan mengundurkan diri; aktif di N.S.A dan bertugas di Jepang; balik lagi ke Amerika; dan aktif lagi di C.I.A dan bertugas di Hawaii. Pengaturan plot tersebut dibuat seakan-akan bergaya semi-dokumenter dan ditambah unsur dramatisasi yang tidak berlebihan. Akting Joseph Gordon-Levitt berhasil dalam meniru gaya dan mimik tokoh utama, terutama nada bicara yang khas.
Bagi seorang whistleblower seperti Snowden, tentu memiliki tujuan khusus terkait pembocoran dokumen rahasia tersebut yang tergerak oleh hati nurani nya. Ia ingin publik Amerika khususnya dan dunia umumnya mengetahui, bahwa selama ini pemerintah Amerika Serikat selalu mengawasi dan memata-matai seluruh kegiatan internet warga sipil di seluruh perangkat seperti telepon seluler dan komputer, baik berupa e-mail, media sosial dan lainnya, dalam bentuk percakapan telepon, surat elektronik, chatting hingga sosialisasi. Boleh dikatakan bahwa pesan yang ingin ia sampaikan yakni ketika privasi seseorang sebagai mahluk sosial dalam era teknologi digital untuk berekpresi dan berinteraksi, diusik oleh pemerintah.Â
Peran pemerintah dalam menguntit dan mengintai account seseorang yang dicurigai sebagai ‘musuh’ negara, dapat menimbulkan paranoia publik. Setiap gerak dan langkah yang kita lakukan di dunia ini, dapat dengan mudah diketahui oleh pemerintah. Apa yang telah dilakukan oleh Snowden, memberi pelajaran kepada kita semua akan penggunaan teknologi dalam bersosialisasi dengan siapapun, agar lebih bijak dalam bertindak. Â
Film yang diarahkan oleh Oliver Stone, tampaknya ingin menekankan pada dunia, bahwa ada konspirasi besar tersembunyi di dalam pemerintahan dan musuh sebenarnya adalah bukan dari negara tertentu, namun para individu yang ingin menggulingkan pemerintahan. Perang secara fisik hanyalah opsi akhir dari perang cyber yang saat ini sedang berlangsung. Seperti yang diketahui, umumnya karya Oliver Stone memiliki tendensi ‘anti perang’ dengan mengeksploitasi sisi gelap manusia, seperti seorang tentara ‘gila’ dalam Platoon (1986), revolusi gerakan sayap kiri dalam Salvador (1986), kejahatan kapitalis dalam Wall Street (1987), konspirasi pembunuhan presiden dalam JFK (1991), sepasang pembunuh berantai akibat trauma masa kecil dalam Natural Born Killers (1994), serta sosok kontroversial Aleksander Agung dalam Alexander (2004) atau Presiden W. Bush dalam W (2008). Â
Pengintaian bukanlah barang baru di dunia perfilman, sebut saja THX 1138 (1971), The Conversation (1974), Ninenteen Eighty-Four (1984), Brazil (1985), Sneakers (1992), The Net (1995), Enemy of the State (1998), Antitrust (2001), Minority Report (2001), V for Vendetta (2006) atau Eagle Eye (2008). Mungkin jaman dulu, sebelum teknologi ‘merasuki’ umat manusia, bahwa orang yang percaya akan eksistensi Tuhan, meyakini bahwa Tuhan lah yang tahu persis segala pemikiran dan tindakan manusia setiap saat. Namun kini, antar manusia dapat melakukannya, kecuali mungkin dalam hal membaca pikiran. Pengintaian terjadi jika ada sesuatu yang mencurigakan dan berpotensi membahayakan keamanan massal, namun dalam implementasinya, terkadang disalahgunakan atau diselewengkan demi kepentingan ‘yang lain’.Â
Pemerintah merupakan badan otoritas negara, yang memiliki hak dan kewajiban terhadap kepentingan publik, selain tentunya berperan dalam hubungan politik internasional. Poin yang diangkat dari film Snowden (2016), yakni di satu sisi, pemerintah melindungi warga sipil dari berbagai ancaman terhadap negara, namun di sisi lain atas nama keamanan negara sekaligus juga dapat menjadi ‘ancaman’ terhadap warga sipilnya sendiri. Sesuatu yang tidak bisa kita hakimi begitu saja, karena ada nilai positif dan negatif dalam kebijakan politik yang diusung pemerintah suatu negara. Jadi yang paranoid siapa? Rakyat terhadap pemerintah atau pemerintah terhadap rakyat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H