Mohon tunggu...
Dendi Pribadi Pratama
Dendi Pribadi Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi/Mahasiswa

Mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Saya adalah seorang pengamat politik dan penikmat produk pemerintah.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ada yang Dipangkas tapi Bukan Rumput!? Putusan Mahkamah Agung (MA) yang Meringankan Hukuman Koruptor

30 Juli 2024   14:06 Diperbarui: 30 Juli 2024   20:47 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumbehttps://www.google.com/imgres?q=koruptor%20dipotong%20masa%20tahanan&imgurl=https%3A%2F%2Fawsimages.detik.net.id%2Fcommunity%2Fmedia%2Fvisu

Dari perspektif hukum, Mahkamah Agung mungkin memiliki pertimbangan tertentu dalam meringankan hukuman, seperti faktor usia, kesehatan, atau kontribusi terdakwa dalam kasus yang lebih besar. Namun, dari sudut pandang sosial, tindakan ini dapat dilihat sebagai pelemahan komitmen negara dalam memerangi korupsi.

Menurut Prof. Romli Atmasasmita, seorang pakar hukum, "Penting bagi pengadilan untuk mempertimbangkan efek jangka panjang dari putusan mereka terhadap masyarakat. Meringankan hukuman koruptor dapat menurunkan moralitas masyarakat dan mengurangi kepercayaan terhadap sistem hukum."

Masyarakat, terutama mereka yang peduli dengan integritas pemerintah, seringkali merespon negatif terhadap keputusan tersebut. Ada harapan bahwa lembaga peradilan akan memberikan hukuman yang setimpal untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dan korupsi diberantas hingga ke akarnya.

Dr. Indria Samego, seorang ahli politik, menambahkan, "Keadilan harus dilihat sebagai suatu keharusan dalam sistem hukum kita. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa hukum berlaku adil bagi semua, termasuk bagi mereka yang melakukan kejahatan seperti korupsi."

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ICW pada Oktober 2019 menunjukkan bahwa MA hanya mendapatkan kurang dari 70% kepercayaan publik. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak percaya pada kemampuan MA dalam menerapkan hukum yang adil dan tegas terhadap korupsi.

Keterlibatan KPK dan Komisi Yudisial

Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia Corruption Watch menuntut agar:

  1. Ketua MA harus selektif dalam menentukan komposisi majelis yang akan menyidangkan setiap kasus korupsi.
  2. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial harus mengawasi proses jalannya persidangan di tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
  3. Majelis Hakim di MA harus menolak seluruh permohonan Peninjauan Kembali dari para terpidana kasus korupsi.

Dengan demikian, perlu adanya perubahan dalam sistem peradilan untuk memastikan bahwa hukum dapat diterapkan secara adil dan tegas terhadap korupsi, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik dan memperkuat komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.

Putusan Mahkamah Agung yang meringankan hukuman bagi terpidana korupsi memiliki dampak signifikan terhadap persepsi publik mengenai integritas sistem peradilan di Indonesia. Meski ada pertimbangan hukum yang mendasari keputusan tersebut, penting bagi lembaga peradilan untuk mempertimbangkan dampak sosial dari setiap putusan. Untuk mempertahankan kepercayaan publik, penting bahwa hukum ditegakkan secara adil dan konsisten.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun