Penulis: Dendi Pribadi P, Mahasiswa Administrasi Publik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Korupsi adalah tindakan yang sangat merusak, tidak hanya karena menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi negara, tetapi juga karena melemahkan integritas institusi pemerintahan. Di Indonesia, perjuangan melawan korupsi telah menjadi prioritas pemerintah, dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada di garis depan dalam upaya ini. Namun, beberapa putusan terbaru Mahkamah Agung yang meringankan hukuman terpidana korupsi telah menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pemerhati hukum.
Putusan Mahkamah Agung untuk meringankan hukuman bagi sejumlah terpidana korupsi telah menimbulkan beragam reaksi. Beberapa kalangan menganggap keputusan ini sebagai langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini dapat dilihat dari penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan pemerintah secara keseluruhan.
Dr. Bambang Widodo Umar, seorang ahli dalam bidang administrasi publik, menyatakan, "Keputusan Mahkamah Agung yang meringankan hukuman koruptor dapat mengirimkan pesan yang salah kepada masyarakat. Ini bisa dilihat sebagai tanda bahwa korupsi tidak dianggap sebagai kejahatan serius oleh sistem peradilan, yang pada akhirnya dapat mengurangi efek jera bagi pelaku korupsi."
Pada beberapa tahun terakhir, Mahkamah Agung (MA) telah menjadi sorotan publik karena putusan-putusan yang dianggap tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Salah satu contoh yang menonjol adalah penurunan hukuman bagi pelaku korupsi, yang seringkali dianggap sebagai tindakan yang tidak memadai untuk menghukum para koruptor.
Vonis Ringan yang Marak
Pada tahun 2018, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi di MA hanya sekitar 2 tahun 5 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa MA cenderung memberikan vonis yang ringan kepada pelaku korupsi, sehingga tidak memberikan efek jera yang cukup untuk mencegah tindakan korupsi di masa depan.
Contoh Kasus: Lucas dan Nurhadi
Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah kasus Lucas, seorang pengacara yang diduga menghalang-halangi proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lucas awalnya dihukum 5 tahun penjara pada tingkat banding, tetapi hukumannya diurangi menjadi 3 tahun penjara oleh MA. Hal ini menambah daftar panjang vonis ringan yang diberikan oleh MA kepada pelaku korupsi.
Pada tahun 2019, KPK menetapkan mantan Sekretaris MA, Nurhadi, sebagai tersangka atas dugaan menerima suap Rp 33,1 milyar dan gratifikasi Rp 12,9 milyar. Ironisnya, sementara KPK berupaya membongkar mafia peradilan, MA memberikan putusan yang mengurangi hukuman terdakwa korupsi, sehingga menimbulkan kecurigaan tentang adanya kelemahan dalam proses peradilan.