Debat Kandidat Pilkada DKI pada tanggal 13 Januari 2017 menarik untuk direview dan dianalisis dari berbagai dimensi, para pengamat, konsultan dan analis politik memusatkan perhatian analisisnya pada dimesi politik yaitu seputar kalkulasi dan peramalan kemanakah undecided voters danswing votershendak memberikan pilihannya, terminologi undecided voters dan swing voters itu sendiri muncul sebagai hasil identifikasi dan rekognisi terhadap fenomena kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan dan berada di persimpangan pilihan, mengalami pelemahan dan penguatan keyakinan untuk memilih, entitas keberadaan kelompok ini kemudian dikuantifikasi ke dalam prosentase angka.
Menariknya, prosentase angka tersebut merupakan ceruk yang tidak sedikit bahkan perlu diperhitungkan sebagai salah satu faktor determinan dalam menentukan kemenangan, 28, 2% swing voters misalkan menurut data LSI, 30% swing voters dan 10-15% undecided voters berdasarkan data SMRC, atau 30% swing voters berdasarkan data populi center.
Tulisan ini tidak sedang menguji validitas dan reabilitas metodologi dalam mengkuantifikasi kelompok undecided voters danswing voterske dalam angka-angka,melainkan sebaliknya memberikan pijakan empirik bahwa kelompok tersebut memang nyata keberadaannya by name by adress merujuk kepada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang relatif sama dari pemilu ke pemilu hanya diperkirakan mengalami pertumbuhan pemilih per tahun (growth) sebesar kurang dari 5% sebut saja pertumbuhan tersebut sebagai kelompok pemilih pemula (new voters), artinya harus dibaca bahwa kelompok pemilih secara umum telah mengalami pengalaman yang cukup memadai dalam menjatuhkan pilihan dari pemilu ke pemilu. Dan berubahnya preferensi pemilih serta perubahan posisi partai pemenang dari pemilu ke pemilu juga bukti empirik bahwa keberadaan kelompok undecided voters danswing votersmerupakan ceruk pemilih yang harus diperhitungkan matang-matang.
Lalu bagaimanakah mengidentifikasi preferensi pemilih dalam pilkada? tentang hal ini para pengamat dan konsultan politik memberikan pandangan kepada kandidat bagaimana pola komunikasi politik yang tepat sesuai dengan preferensi pemilih, setelah sebelumnya mengidentifikasi terlebih dahulu preferensi pemilih dalam bentuk stratifikasi kelompok pemilih ke dalam pemilih rasional, pemilih sosial-emosional dan pemilih psikologis. Stratifikasi kelompok pemilih inilah kemudian menjadi pijakan dasar strategi yang dipergunakan dalam pemenangan debat kandidat.
Artinya para kandidat dituntun untuk menyesuaikan diri dengan selera pasar (preferensi pemilih) yang dianggap mewakili DPT yaitu kelompok pemilih rasional misalnya, yang juga dipandang lebih merepresentasi kondisi sosio politik DKI Jakarta pada pilkada kali ini, karenanya kemudian isu-isu dan argumentasi yang dibangun dalam debat kandidat 13 Januari 2017 kemarin lebih banyak diwarnai aspek manajemen teknis program-program kebijakan publik yang lebih rasional dan konkrit dalam kerangka cost and benefit policy, dalam hal ini kandidat nomor 2 AHOK-DJAROT tampil gemilang, mendapatkan apresiasi dan strong point di mata publik sebagai kandidat yang berpengalaman, menguasai permasalahan dan roda administrasi pemerintahan daerah dengan baik.
Setelah sebelumnya di luar panggung debat pasangan ini mengalami keterpurukan karena terjadinya rushpolitik,semacam penarikan besar-besaran rekening kepercayaan publik disebabkan kasus penodaan/penistaan terhadap agama yang dialami Ahok, debat kandidat secara tidak langsung telah membuat jarak dan menempatkan kasus tersebut dalam kotak politik hukum jauh di luar jangkauan panggung debat, sehingga tanpa harus mengklarifikasi dengan argumentasi yang apologetic pasangan ini telah mendapatkan kembali banyak setoran ke dalam rekening kepercayaan publik-nya.
Bagi pasangan nomor urut 2 debat publik adalah sarana uji publik, bagaimana kandidat bisa bertahan dan matang secara politik di tengah pengkondisian stigma sosial dan jeratan politik hukum yang membayang-bayangi keadaan dan kemudian tampil percaya diri di panggung debat, inilah strong point lain-nya dari pasangan nomor urut 2 selain menawarkan kebijakan publik berbasis manajemen teknis yang jelas juga bagaimana merubah krisis politik yang meruntuhkan pundi-pundi kepercayaan publik sebelumnya menjadi kesempatan untuk menunjukan endurance ketahanan dan kematangan dalam menghadapi tekanan politik baik dari publik yang otonom maupun publik yang termobilisasi. Dalam pandangan analis, krisis di luar panggung debat ini memiliki ambivalensi politik, pada satu sisi mampu menciptakan rush penarikan besar-besaran rekening kepercayaan publik namun pada sisi lain mampu membalik-kan keadaan, membangun kembali kewibawaan politik yang hilang tentunya apabila pasangan ini konsisten menjadikan krisis politik yang mendera sebagai branding tersendiri dan membangun skemanya dengan baik dalam babak debat berikutnya.
Pun demikian bagi pasangan nomor urut 1 AGUS-SILVY debat publik juga merupakan uji publik, bagaimana pasangan ini bisa membuktikan keraguan yang cukup beralasan  (reasonable doubt)dari publik menjadi keraguan yang tidak beralasan(unreasonable doubt)tentunya keraguan atas kapasitas politik AHY yang sebelumnya menjadi sandungan, bagaimana mungkin aktor kebijakan yang tidak memiliki pengalaman dalam politik dan adminsitrasi pemerintahan mampu memimpin DKI Jakarta dengan segala problematikanya yang kompleks. Dan ternyata AHY mampu mengusai panggung debat setelah pada segmen 1 sampai dengan segmen 2 mengalami demam panggung yang wajar. Tampilnya AHY dalam panggung debat merupakan sebuah lompatan politik yang juga semakin menambah rekening kepercayaan publik terhadap dirinya, sayangnya pasangan SILVI dalam benak penulis belum menunjukan secara optimal distinctive value apa yang dibawa ke dalam panggung debat untuk melengkapi AHY dari aspek pengalaman dan tata kelola pemerintahan daerah. Namun demikian secara umum pasangan ini telah lolos uji publik (uji politik), telah memiliki modal sosial cukup baik, baik di darat maupun di udara menyentuh kelompok pemilih sosial-emosional dan berhasil masuk ke gelanggang politik yang lebih tinggi dari gelanggang sebelumnya, tinggal kemudian bagaimana dalam babak debat berikutnya pasangan ini menunjukan landscapeatau narasi umum hendak kemanakah kebijakan publik dibawa dan diorientasikan karena ketika pasangan nomor urut 1 masih berbicara banyak tentang kebijakanan publik berbasis manajemen teknis yang kurang jelas maka akan berhadapan dan terdominasi oleh pasangan nomor urut 2 yang lebih detil, jelas, ekonomis dan konkrit meskipun jauh dari nilai-nilai.
Selanjutnya bagi nomor urut 3 ANIES-SANDI, debat publik juga merupakan uji publik tersendiri, kalau 2 pasangan sebelumnya memiliki beban sosial politik sebelum masuk panggung debat yaitu reasonable doubtdan stigma sosial kasus penistaan agama maka bagi pasangan nomor urut 3 debat membawa beban tersendiri harus tampil lebih gemilang dibandingkan pasangan lainnya karena justru tidak memiliki beban sosial politik sebelum naik panggung, oleh karena itu sangatlah wajar kalau pasangan nomor urut 3 ini lebih mampu menguasai panggung debat dibandingkan dengan pasangan-pasangan lain-nya bahkan tampil lebih ofensif dan kritis terhadap program pasangan lain.
Strong point dari pasangan nomor urut 3 adalah kemampuan mengartikulasi dan menggambarkan landscape kebijakan publik berbasis nilai yang hendak digulirkan yang berpusat pada pembangunan manusia (human development) dan faktor non ekonomi ditengah pembacaan dan anggapan kekeringan ruhani dan nilai yang melanda masyarakat kota. Publik mendapatkan poin-poin penting tentang kebijakan publik yang berbasis nilai atau dalam istilah Parson (2014) ilmuwan kebijakan publik terkemuka abad ini disebut ke dalam rumpun metapolicy,meskipun pasangan nomor urut 3 dalam hal ini terutama Anies Baswedan banyak mendapatkan kritik tentang retorika dan dialektika dalam debat dari berbagai pengamat dan konsultan politik.
Namun menurut hemat penulis pasangan nomor urut 3 lah yang paling menyentuh substansi debat publik sebagai proses awal formulasi kebijakan publik di DKI Jakarta, hal ini merujuk pada pendapat para ahli kebijakan publik (dalam Parson 2014) seperti Amitai Etzioni, Yehezkiel Dror dan Sir Geofrey Vickkers bahwa formulasi kebijakan publik terdiri dari level atas dan level bawah, dimensi idealita dan realita, dimensi nilai dan dimensi manajemen, dimensi fundamental dan dimensi inkremental, bahwa proses formulasi kebijakan diawali dengan memikirkan dan merenungkan terlebih dahulu hal-hal yang sifatnya fundamental, ideal dan nilai-nilai yang hendak dirubah dalam struktur sosial tertentu, dimensi nilai ini kemudian yang mendasari lahirnya dimensi menajemen teknis di bawah-nya. Sayangnya pasangan nomor urut 3 belum begitu berhasil menjabarkan dan mempertemukan dimensi nilai tersebut ke dalam dimensi manajemen teknis sehingga bagi kelompok pemilih rasional menimbulkan sedikit keragu-raguan.