Mohon tunggu...
Pojok denBoedhi
Pojok denBoedhi Mohon Tunggu... -

ga penting menjadi nomor satu yang penting sudah segenap usahamu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negeri Andai-andai

21 Oktober 2015   10:08 Diperbarui: 21 Oktober 2015   10:14 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemaren adalah tepat satu tahun kepemimpinan Presiden Jokowi. Terlepas dari pro kontra, harus kita akui bahwa selama satu tahun terakhir telah banyak usaha yang beliau lakukan untuk negeri ini. Efektivitas dan efisiensi metoda kerja tentunya tidak bias dinilai begitu saja. Banyak hal yang memang dampaknya langsung terasa, tapi tidak sedikit tindakan yang dampaknya baru akan dinikmati beberapa tahun kemudian.

Saat ini saya, karena tugas, berdomisili di Solo sebuah kota yang kita ketahui bersama pernah dipimpin langsung oleh beliau. Banyak hal positif yang pada awalnya sangat mengganggu saya terkait manajemen kota Solo. Bagi beberapa sahabat yang pernah menggunakan moda pribadi di kota ini tentunya dapat melihat perbedaan ketika berada di dalam kawasan kota solo dan diluar wilayah kota Solo. Pertama Angkutan Kota (Angkot). Angkot, ya keberadaan angkutan kota di kota ini boleh dikatakan sangat minim disbanding kota lain. Moda umum lebih didominasi oleh taksi. Lantas apakah roda rutinitas warga Solo jadi terganggu? Ternyata tidak. Mobilitas warga Solo tetap tinggi, mereka beralih ke moda pribadi, sepeda motor dan mobil pribadi. Kebijakan minimalisasi angkutan kota (yg tadinya saya rasa mengganggu ruang gerak saya) telah membuahkan hasil Solo sebagai salah satu Kota yang lumayan besar namun dengan tingkat kemacetan yang masih sangat sangat dapat terkendali. Situasi yang akan membuat org Jakarta, Surabaya, Medan atau bahkan Jogja yang mengunjungi Solo berguman; “wah..enak ya ga ada macet di Solo”. Kedua penggunaan Plat Merah. Menurut saya budaya malu menggunakan fasilitas Negara di kota ini lumayan tinggi. Pada awalnya saya agak terganggu ketika beberapa kali disindir oleh petugas parkir yang sering berseloroh dengan berteriak mencari dimana sepeda motor plat merah diparkir (yg terpaksa saya pakai, karena kendaraan saya belum datang, saya bilang terpaksa karena terkait nomor 1, ketiadaan angkot di setiap jurusa/ jalan ). Belakangan dari ngobrol ngalor ngidul di angkringan/ wedhangan saya dapat menyimpulkan bahwa salah satu buah yg dipetik dari era kepemimpinan beliau adalah tingginya rasa malu untuk memakai fasilitas kantor (plat merah) untuk keperluan pribadi. Makanya jangan heran di kota ini penggunaan plat merah di hari libur/ diliburkan relative sedikit.

Lantas apa korelasi semua yang saya sampaikan dengan satu tahun kepemimpinan Presiden Jokowi? Saya ingin mengutip beberapa statement tokoh tokoh yang bersinggungan dengan dunia politik (baca pemerintahan), mereka yang saya maksud adalah para tokoh yang mempunyai kemampuan menjaring suara masyarakat untuk kemudian disarikan dalam sebuah kesimpulan. Ya, mereka yang bergerak dalam jasa layanan survey mensurvey dan sejenisnya. Tanpa bermaksud mengecilkan kredibilitasnya berikut saya sampaikan dua ulasan dari tokoh terkait satu tahun era kepemimpinan Presiden Jokowi, sebagai mana saya kutip dari salah satu sumber (merdeka.com).


1. Hanta Yudha.
Lembaga Survei Nasional Poltracking Indonesia merilis hasil survei terhadap kinerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang genap berusia satu tahun hari ini. Dalam survei yang diikuti 1.200 responden itu menyimpulkan bahwa mayoritas publik atau 51,26 persen tidak puas dengan pemerintahan Jokowi-JK.
"Jika Pilpres dilakukan hari ini sebagian besar publik memilih Prabowo sebesar 24,11 persen, disusul Jokowi 20,95 persen," kata Direktur Eksekutif Poltracking, Hanta Yudha di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Selasa (20/10).

2. Ubedillah Badrun
Dalam menanggapi hal tersebut, pengamat politik Universitas Negeri Jakarta, mengatakan Presiden Jokowi tak menepati janji untuk mensejahterakan rakyat. Misalnya harga bahan bakar minyak (BBM), utang luar negeri dan impor sapi. Itulah yang membuat pamor Jokowi kian merosot.
"Jadi ekspektasi rakyat diruntuhkan popularitas jatuh disebabkan Jokowi sendiri, memang kalau pemilu hari ini digelar Prabowo pasti menang," kata kata Ubedillah Badrun saat dihubungi merdeka.com, Selasa (20/10).
Yang ingin saya sampaikan adalah MASYARAKAT KITA seringkali terjebak dalam sebuah kesimpulan yang masih dilandaskan pada kata ANDAI, JIKA sekalipun andai dan jika itu didasarkan pada sebuah penelitian. Masyarakat seharusnya mampu memberikan suaranya berdasarkan kemampuan analitis sendiri bukan terpengaruh kesimpulan dari sebuah pooling, survey, atau jajak pendapat yang kadang simpulan akhirnya bias “disesuaikan” dengan berbagai kepentingan dibelakangnya. Perkembangan teknologi telah membawa kita untuk mampu mencari informasi sebanyak banyaknya sebelum kita melakukan sebuah tindakan. Pertanyaannya adalah adakah komitment pribadi untuk lebih mempercayai diri sendiri (dgn menggali informasi sendiri) atau mau instan dan percaya begitu saja dengan simpulan orang lain. Jika, Andai dan sejenisnya adalah sebuah awal dari pernyataan bersayap. Hasil akhir dari keputusan yang dilandaskan pada Andai dan Jika adalah sangat riskan karena keduanya belum memiliki bukti nyata, masih didasarkan pada asumsi.

Agak ganjil bagi saya ketika survey terhadap satu tahun kinerja pemerintahan kemudian kita disodorkan pada alternatif pilihan pemimpin lain. Saya kira itu adalah dua hal yang berbeda. Adalah lebih bijaksana jika kita mengevaluasi satu tahun kepemimpinan Presiden Jokowi. Memberikan masukan yang konstruktif, mengevaluasi bias2 dan dampak yang telah terjadi dari satu tahun kepemimpinan beliau. Dan itu lebih berharga dari pada memikirkan upaya untuk mencari figure baru yang fakta lapangannya belum begitu terasa. Pergantian kepemimpinan atau pilkada itu harganya sangat mahal. Bukan hanya pada jumlah biaya yang dikeluarkan tapi juga pada kesempatan yang hilang karena terhentinya aktivitas sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang pada akhirnya akan melambankan roda ekonomi. Sampai saat ini saya masih percaya bahwa salah satu penyebab rendahnya perekonomian kita adalah lambanya pergerakan sendi2 negara terkait pilpres kemaren dan reorganisasi struktur kelembagaan beberapa kementrian. Itu adalah harga yang terpaksa harus kita bayar. (beda dg pilpres jaman ORBA dimana hasilnya sudah kita ketahui jauh sebelum pemilu sehingga tidak bersentuhan (minim) dengan pertumbuhan ekonomi.). Habewe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun