Maaf kawan, catatan ini kembali aku terbitkan. Bukan kebetulan, tetapi yang namanya Mei-Juni seIaIu mengingatkan. Hingga suatu maIam aku buat catatan ini, karena paginya sudah ditunggu teman-teman muda untuk digandakan sebagai salah satu bahan diskusi peringatan.
.....................................................
Bersatu, kata kerja yang bernasib baik. Berjasa begitu dahsyat, membidani kelahiran Boedi Oetomo (20/5 - 1908) - betapa tidak, tiga abad lamanya ‘rasa kebangsaan’ dikerangkeng Belanda. Ia embrio nasionalisme paling mula, yakni sikap sosial menerima pluralisme. Menggugah rasa senasib sepenanggungan, sehidup-semati dalam satu keluarga besar: Republik Indonesia.
Satu adalah tiada aku dan kau, kecuali kau yang aku. Aku yang bukan bagian lain dari kau, kesanggupan bersenyawa ke dalam ‘kita’. Menipiskan jarak primordial, titik temu garis-garis Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon dan Jong-Jong lainnya. Membonsai potensi egosentris ‘aku-kami’ dengan ‘kau-mereka’; ‘orangku’ dengan ‘bukan orangku’; ‘kelompok ini’ dengan ‘kelompok itu’.
Pada masa penjajahan, bagi Belanda, Tanah Air ini dijelmakan ladang kekayaan dan penduduknya adalah manusia taklukkan. Sementara bagi kita, lahir pemahaman: nasib buruk dijajah, korban devide et impera – politik adu domba; pembodohan yang terang-terangan; pemiskinan yang dibudidayakan; dan keterbelakangan yang dipertahankan.
Berjuang melawan kolonialisme menjadi hasrat kolektif. Satu tujuan; bebas dari penindasan. Maka pilihannya; merdeka atau mati!
Bersatu, menghantar negeri kepulauan dengan ragam agama dan budaya ini, 17 Agustus 1945 melintasi ‘jembatan emas’ kemerdekaan.
Prosesi sejarah panjang ini, betapa kelahiran Boedi Oetomo adalah tonggak kebangkitan nasional.
***
Bung Karno menyatakan, 1928, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’, dan membuat kita menjadi ‘hidup di dalam ruh.” Maka, nasionalisme tidak sekedar sikap menerima kemajemukan semata. Tetapi, ia harus dipahami juga sebagai membangun Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Dengan Pembangunan, Indonesia terus berdandan, sambil sibuk belajar bernegara. Misal import demokrasi - aksesoris wajib negara republik, dengan bea masuk: disesuaikan. Maksud dengan ‘disesuaikan’ itu, agar ‘barang asing’ ini tidak liberal, tidak diserahkan total kepada parlemen, dan yang tidak dikendalikan oleh uang. Menjadi demokrasi yang Indonesia, yaitu demokrasi yang dilandasi ideologi bangsa, yakni demokrasi Pancasila.