Kebo-keboan, merupakan salah satu upacara adat yang masih eksis dilaksanakan oleh masyarkat Using, tepatnya di desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi. Penyelenggaraan upacara adat ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur pada Tuhan atas melimpahnya hasil panen yangtelah diperoleh warga Alasmalang selama setahun penuh. Di samping itu, upacara adat kebo-keboan ini juga bertujuan untuk mengusir wabah penyakit yang sedang diderita warga Alasmalang. Dengan upacara tersebut, seluruh warga berharap semoga hasil panen yang akan datang lebih melimpah ketimbang hasil panen yang sebelumnya.
Menurut sejarahnya, kebo-keboan ini mulai digelar secara rutin sejak 300 tahun yang silam oleh sesepuh desa bernama Buyut Karti. Konon, saat itu penduduk Desa Alasmalang sedang dilanda wabah penyakit yang sangat mematikan. Karena saking ganasnya, sampai-sampai wabah tersebut mengakibatkan kematian yang tak terhitung jumlahnya. Bagi warga Alasmalang, saat-saat itu adalah hari-hari yang begitu menyakitkan, seakan tiada hari yang berlalu tanpa ada satupun warga yang harus menemui kematian yang mengenaskan. Tentunya, musibah tersebut menyebabkan kengerian yang begitu mendalam di hati para penduduk Desa Alasmalang.
Dalam kondisi yang serba mendesak ini, Mbah Karti—sesepuh desa yang mempunyai kesaktian luar biasa—memutuskan untuk melakukan meditasi di sebuah bukit dan memohon petunjuk kepada Sang Penguasa Jagad Raya. Di tengah meditasinya, Mbah Karti mendapatkan wangsit agar seluruh penduduk desa segera menggelar upacara kebo-keboan. Selain itu, seluruh warga diminta untuk lebih mengagungkan Dewi Sri yang saat itu telah dipercayai sebagai Dewi kesuburan. Seluruh warga pun setuju, dan segera digelarlah upacara kebo-keboan untuk yang pertama kalinya.
Tidak lama setelah itu, datanglah sebuah keajaiban yang mengejutkan warga Alasmalang. Para warga yang awalnya menderita penyakit misterius yang begitu mematikan, secara tiba-tiba sembuh saat itu juga. Hama yang dulunya begitu ganas menyerang tanaman petani menjadi sirna begitu saja. Sejak saat itu, upacara kebo-keboan mulai digelar secara rutin dan masih bertahan hingga sekarang.
Upacara kebo-keboan dilaksanakan tiap satu tahun sekali, tepatnya pada tiap tanggal 11 Bulan Muharram. Memasuki hari pelaksanaan upacara akbar ini, segala yang dibutuhkan dalam upacara ini mulai dipersiapkan, seperti memasang pintu gerbang yang terangkai dari berbagai macam hasil bumi, hingga menanam pohon-pohon di sepanjang jalan menuju empat arah mata angin yang mengelilingi desa. Pohon-pohon inilah yang nantinya akan di lewati oleh kebo-keboan ketika upacara kebo-keboan sedang berlangsung.
Di hari pelaksanaan, upacara ini dimulai dengan kesibukan warga Alasmalang dalam membuat tumpengayam. Tumpeng ayam dimasak secara tradisional khas masyarakat Using, yaitu pecel ayam. Menjelang siang hari, seluruh warga mulai berkumpul di depan rumah mereka masing-masing, dan sebagian lagi berkumpul di pusat desa bersama para pejabat dan undangan. Dengan dipimpin oleh seorang sesepuh desa, para warga mulai memanjatkan sebuah do’a yang menggunakan bahasa Using. Mereka memohon semoga seluruh penduduk warga diselamatkan dari ancaman dan gangguan, serta hasil panen yang akan datang mudah-mudahan lebih melimpah dari hasil panen tahun kemaren. Seusai berdo’a, warga mulai saling berebut tumpeng dan menyantapnya dengan penuh keyakinan bahwa hal itu mampu memberikan berkah keselamatan bagi seluruh warga Alasmalang.
Seusai pesta tumpeng, upacara adat dilanjutkan dengan mengarak kebo-keboan. Kebo-keboan ini biasanya terdiri dari 18 orang yang telah dipilih. Dalam hal ini, tidak semua warga bisa memerankan kebo-keboan. Dari seluruh pemeran kebo-keboan tersebut dipilih berdasarkan keturunan, yaitu dari keturunan para pemeran kebo-keboan terdahulu. Namun, karena keturunan para pemeran kebo-keboan semakin hari kian betambah, maka tidak memungkinkan seluruh warga yang merasa sebagai keturunan dapat dipilih menjadi pemeran. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya para warga meminta salah satu sesepuh desa untuk memilih siapa saja yang lebih berhak memerankan kebo-keboan tersebut.
Sebelum kebo-keboan ini diarak mengelilingi desa, terlebih dahulu mereka dikumpulkan, dimandikan dan diberi ritual khusus sampai mereka tak sadarkan diri. Dalam kondisi tak sadar ini, barulah para kebo-keboan diarak mengelilingi desa dengan diiringi alunan gamelan. Konon, gamelan ini juga sering membuat para pemeran kebo-keboan kesurupan, bahkan tak jarang dari mereka yang mengamuk.
Belasan kebo-keboan berjalan bergerombol. Jalanan yang sengaja dibanjiri air kelihatan becek dan berlumpur, mengesankan keadaan sawah yang sedang digarapi petani. Beberapa dari 18 kebo-keboan tersebut ada yang bertingkah nakal dan menyerunduk masuk ke kerumunan massa yang menonton di pinggir jalan. Menurut mereka, seseorang yang tercium kebo tersebut diyakini akan mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, tidak heran bila kebanyakan dari para penonton rela berdesak-desakan untuk mendapatkan sebuah ciuman dari kebo-keboan tersebut.
Arakan-arakan kebo-keboan berjalan pelan menuju empat penjuru desa. Di masing-masing arah diletakkan sebuah sesaji yang bertujuan untuk menolak balak. Iringan kebo-keboan ini biasanya diikuti sebuah kereta—yang terbuat dari hasil bumi—yang ditumpangi oleh sosok perempuan cantik yang berperan sebagai sang dewi kesuburan, yaitu Dewi Sri. Di depannya, empat perempuan tua berjalan pelan dengan membawa perlatan ke sawah. Hal tersebut merupakan simbol dari petani yang akan bekerja di sawah.
Arak-arakan ini akan berakhir di pusat kampung. Saat itu, Dewi Sri akan turun dari kereta dan membagi-bagikan benih padi kepada para petani. Lagu-lagu pujian pada dewi kesuburan didendangkan. Saat itu, kebo-keboan yang awalnya liar dengan seketika menjadi jinak. Mereka tunduk pada sosok sang Dewi Sri yang selalu tersenyum ramah.
Upacara ini di akhiri dengan prosesi membajak sawah. Kebo-keboan berpasang-pasangan menarik bajak di tengah sawah yang berlumpur. Benih-benih padi yang telah di peroleh dari pemberian Dewi Sri ditabur. Para warga saling berebut untuk mendapatkan benih yang baru ditabur tersebut. Seluruh warga meyakini bahwa benih-benih itu akan memberi keberkahan terhadap pertanian mereka dimasa yang akan datang. Dengan benih serta keyakinan akan keberkahannya, wargaAlasmalang siap melanjutkan profesinya sebagai petani.
Begitulah upacara kebo-keboan terus berlangsung di tiap tahunnya. Bagi wargaAlasmalang, upacara tersebut tidak hanya berfungsi sebagai bentuk rasa sukur dan harapan akan hasil panen yang lebih melimpah belaka, tapi juga sebagai ajang membakar semangat para petani untuk terus melanjutkan profesinya demi mencapai taraf hidup yang lebih baik.
*Penulis adalah Pemerhati Kebudayaa. Tinggal di Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H