Oleh: AF Denar Daniar
Aku tak tau harus kumulai dari mana cerita ini, sebab aku juga tak tau kapan kisah ini bermula dan entah kapan ini terjadi. Hanya sebagian-sebagian saja yang masih bisa kuingat. Namun, penggalan-penggalan itulah yang telah memaksaku pada sebuah kegelisahan-kegelisahan yang takkan pernah selesai.
Keterpenggalan inilah yang telah membuat segalanya nampak begtiu semu. Hanya saja, aku merasa bahwa kau pernah datang, kemudian pergi, menghilang entah kemana. Seperti malam, datang dan hilang. Aku hanya bisa mengenangnya melalui dingin yang tersisa di pojok kamar, juga pada embun yang masih bergelantungan di pucuk-pucuk daun. Aku yakin! bahwa malam tak habis segalanya.
Begitu juga dengan apa yang kurasa tentang dirimu. Meski pikiranku tak lagi bisa mengingatmu, namun jiwaku bisa merasakan sesuatu yang masih tersisa setelah kepergianmu. Tapi aku tak tahu cara menggambarkannya. Ia serupa gumpalan bayang-bayang, datang dan kemudian hilang menjelma sebuah kenangan. Ya..! Sebuah kenangan yang tak mampu menampung kisah seutuhnya, sebuah kenangan yang kabur tentang dirimu, sebuah kenangan yang telah mengantarku jauh ke dalam rimba tanya, kenapa kau pergi? Entah......!!
***
Biasanya, kau akan selalu bangun pagi-pagi. Menyediakan secangkir kopi dan berapa batang rokok Djarum Filter untukku. Kau sudah tahu kebiasaanku. Ya, sebuah kebiasaan yang buruk menurutmu, tapi kau tak pernah pedulikan hal itu.Bahkan sedikitpun kau tak pernah mengeluh. Pagi demi pagi kau habiskan dengan kesabaran dan pengabdian sebagai seorang istri. Seakan-akan sikapmu menunjukkan bahwa kau terlahir hanya untuk mengabdi pada suami.
Tapi, pagi itu tak seperti pagi yang sebelumnya. Aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Di meja, tak ada kopi juga tak ada rokok. Sungguh tak seperti biasanya. Apa yang terjadi? adalah satu-satunya tanya yang kini bersarang di benakku.
Aku mulai menerka-nerka kenapa pagi ini istriku tidak menyediakan kopi untukku. Berkali-kali, kuulang-ulang pertanyaan itu. Tak terasa darahku kian mendidih hingga keringat hangat menguap di setiap pori-pori yang meradang. Tapi, tetap saja aku tak bisa menjawabnya. Aku terdiam, kebingungan. Kutatap kosong meja itu kembali, tempat dimana kau biasanya menaruh secangkir kopi dan rokok.
”Mengapa hari ini meja itu kosong?”
”Tidak, meja itu tidak kosong. Sesuatu yang lain telah mengisi kekosongannya” Kudekati meja itu, dan kutemukan lipatan kertas seperti surat yang sengaja ditaruh disitu. Mengapa? Ya! Aku tahu, surat itu di taruh di meja agar aku mudah menemukannya. Sepertinya surat itu memang sengaja ditujukan untukku. Tapi untuk apa? Mengapa baru kali ini surat misterius itu berada di mejaku? Entah, aku hanya bisa bertanya dan bertanya tentang keganjilan ini.
Pelan-pelan kubuka surat itu dengan sangat hati-hati, dan masih dengan pikiran kosong. Seperti meja itu, hanya ada sebuah lipatan kecil yang mampu mengisi kekosongannya
Surat itu kini telah terbuka, di dalamnya ada tulisan tangan yang sudah bisa kukenali bahwa itu tulisanmu. Aku hafal betul tulisanmu. Tapi kali ini, sungguh tulisanmu berbeda dari yang aku tahu. Ia meliuk-liuk tak beraturan, mungkin kau gemetaran saat menulisnya. Atau..memang seperti inilah model terbaru dari gaya tulisanmu. Entah, aku tak tahu. Lagi pula aku tak mau membahas hal itu. aku ingin cepat-capat mengetahui apa yag ingin kau sampaikan dalam surat itu.
Kubaca suratmu pelan-pelan.
“Tak perlu kau repot-repot mencari kemana aku dan anak-anak pergi, maka biarkanlah kami mencari hidup yang lebih tenang, tentunya setelah jauh darimu”
Seketika darahku seakan-akan berhenti berdenyut. Segalanya terdiam. Namun, itu hanya sebentar. Kemudian, disusul detak jantung yang makin lama makin kencang, bagai genderang perang, dimana pergulatan antara pikiran dan perasaan pun di mulai, untuk menentukan siapa menguasai siapa dan siapa di kuasai siapa.
Darahku makin mendidih, seperti air di atas perapian yang menyala, dengan gelembung-gelembung uap asap panas sebagai pengaduannya. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang, meski itu cukup sulit kulakukan. Kutarik nafas pelan-pelan, dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya perlahan-lahan. Sambil berharap dalam hati, agar segala kekacauan yang telah menjadi beban, sedikit demi sedikit terlepas bersamaan dengan setiap nafas yang kuhembuskan. Kulakukan itu hingga beberapa kali, sampai diriku benar-benar tenang, hingga tubuhku rileks dari segala ketegangan.
Pikiranku mulai melayang lebih jauh, memasuki ruang-ruang kecil yang yang sebelumnya tak bisa kujangkau. Memutar kembali rekaman-rekaman sejarah tentang kita yang masih bisa kuingat. Pelan-pelan aku buka satu persatu lembarannya, takut ada yang terlewatkan. Sampai aku bisa menemukan apa yang telah membuatmu sebegitu marahnya kepadaku dan kemudian pergi meninggalkanku.
Namun usahaku sia-sia. Tak satupun kutemukan dari lembaran-lembaran sejarah itu, yang bisa di jadikan alasan mengapa kamu pergi meninggalkan rumah. Akupun mulai kebingungan, pikiranku kembali tak karuan. Segalanya menjadi lebih suram dari sebelumnya. Begitu pekat, melebihi gumpalan kabut di seebuah musim penghujan.
Kuputuskan untuk mengulanginya kembali, mungkin ada yang terlewatkan. Mencoba untuk lebih fokus. Yang ada di pikiranku saat itu hanya menemukan sesuatu yang bisa di jadikan alasan atas kepergianmu. Sebab hanya hal itulah yang bisa menjawab semua dari kegelisahanku saat ini.
Namun semua itu sia-sia, lagi-lagi tak sesuai dengan harapan. Dan yang kudapatkan hanyalah sebuah narasi kosong yang tak memberiku penjelasan apa-apa. Dan kegelisahan pun makin sempurna menampakkan dirinya.
Akhirnya kubaca kembali surat yang kau tinggalkan untukku, mungkin aku telah salah membacanya atau barang kali aku salah memahami maksudnya. Kubaca surat iu berulang kali, kuperhatikan tiap-tiap hurufnya, susunan kalimatnya dan peletakan tanda bacanya.Tak ada kesalahan dalam kalimat itu, dan tetap saja surat itu mengatakan bahwa kau memang benar-benar telah pergi. Aku pun malai putus asa. Sungguh, kau meninggalkan penderitaan yang begitu sempurna.
”Tidak.....................!!!”
”Mengapa kau buat aku seperti ini? Mengapa kau secara tiba-tiba mengambil keputusan ini tanpa memberi tahu aku sebelumnya? Mengapa kau tak pernah bilang bahwa ada sesuatu dari diriku yang telah membuatmu sakit hati? Mengapa kau bungkam atas penderitanmu sendiri? Mengapa kau pergi begitu saja tanpa memikirkan apa yang akan terjadi padaku setelah kepergianmu? Atau memang kau tak pernah peduli padaku? Sekarang, sudah cukup bagiku untuk kau buat pusing. Begitu sempurna penderitaan yang kau tinggalkan, hingga akupun tak tahu apa yang harus kulakukan”.
Aku terdiam. Tubuhku terbujur kaku dengan mata menatap sesuatu tanpa tahu apa yang kutatap, kosong.
Sungguh, Pagi ini tak seperti pagi yang sebelumnya. Angin begitu panas bercampur kabut. Bunga-bunga di taman pun layu, mungkin kau lupa menyiramnya atau barang kali kau sengaja tidak menyiramnya? Entah, tapi mengapa?
Kegelisahan kembali memintaku untuk mengorek segala yang bisa ku tanyai, pepohon, bunga-bunga dan semuanya dan semuanya yang terjangkau pandangku. Kutatap segalanya dengan penuh tanda tanya. Tapi rupanya, tatapanku malah membuat mereka takut. Mereka kelihatan mulai gelisah, seakan-akan mereka sudah tak sabar menunggu kedatangan malam, yang kemudian bersembunyi dalam dekap gelap kelam. Tak ada yang peduli dengan keadaanku.
Pikiranku kembali tak karuan, bagai malam tanpa bulan dan bintang. Dengan suara-suara yang tak tahu entah darimana. Dimana ketakutan bisa dibilang lebih sempurna, dan lebih mencekam dari malam-malam yang sebelumnya.
Dengan pelan aku mencoba mengingat-ingat kembali apa saja yang bisa ku ingat, hingga tak ada yang tersisa. Namun seakan ada yang terlupa, sesuatau yang harus kuingat, tapi aku tak tahu itu apa. Tiba-tiba segalanya jadi terdiam, angin di luar sana makin kering, begitu sunyi, sepi. Pelan-pelan segalanya seakan menjauh dariku, seakan mereka tahu sesuatu dan takut terungkapkan.
Aku sudah mulai tidak tahan dengan keadaan saat itu, aku merasa berada di sebuah dunia yang sesak dengan tanda tanya, seperti celurit yang tergantung di sebuah dinding tua. Menganga. Ada haus yang tak pernah terlunaskan.
Hari masih jam tujuh, kira-kira begitu. Meski aku kurang yakin apakah jarum jam masih selalu tepat menunjukkan waktu. Langit di luar bercampur kabut, makin keruh. Mungkin ia sengaja mewakili pikiranku?, menggapai-gapai sesuatu yang entah dimana. Atau ia hanya sebagai pertanda bagi turunnya hujan?.
Entah, aku hanya diam, menunggu sebuah jawaban yang entah dimana dan entah kapan ia akan datang. Hanya aku yakin bahwa suatu saat ia pasti akan datang bagi sebuah keraguan. Meski keraguan takkan pernah habis oleh sebuah jawaban. Dan begitulah seterusnya, akan selalu bergantian selayaknya musim kering dan penghujan. Semuanya datang dari serba ketidak jelasan, menuju ketidak jelas yang lain.
”Selamat jalan ketidak jelasan dan selamat datang ketidakjelasan yang lain”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H