Mohon tunggu...
nanto
nanto Mohon Tunggu... -

travel writer - engineer - mountaineer- surabaya, indonesia

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Petroalgae:Laut Indonesia sebagai Ladang Bahan Bakar Masa Depan

2 Mei 2015   21:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_414537" align="aligncenter" width="640" caption="http://www.carzine.gr/biofuels/"][/caption]

Krisis energi menjadi hot topik dalam berita media massa berapa bulan belakangan ini. Isu kenaikan BBM,  penghapusan subsidi BBM, harga minyak yang dilepas pada mekanisme pasar dsb yang menimbulkan perbincangan serius di semua kalangan mulai pejabat berdasi, kuli tinta hingga kuli bangunan yang ada di pelosok desa.  Selama ini, sumber daya energi utama yang terletak di laut adalah minyak. Kebutuhan energi nasional akan terus meningkat sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan aktivitas industri. Perlu terobosan bagi Indonesia untuk mendapatkan cadangan minyak baru. Salah satu terobosan besar yang bisa dilakukan dalam mencari alternatif sumber minyak baru adalah mikroalga laut, yang berkontribusi pada pembentukan minyak bumi. Minyak laut dari ekstrak biomassa mikroalga laut sangat potensial sebagai sumber bahan bakar masa depan.

Metzger dan kawan-kawan (1985) menemukan bahwa mikroalga Botryococcus Braunii menghasilkan hidrokarbon penting dalam minyak bumi. Mikroalga laut tropis Indonesia dari golongan diatom yang menghasilkan minyak laut. Produktivitas biomassa rata-rata dari fitoplankton di kawasan laut tropis sekitar 50 gram karbon per meter persegi per tahun atau dua kali lebih besar dari produktivitas biomassa tanaman darat.

Christi (2007), peneliti dari Massey University mengungkapkan bahwa produktivitas mikroalga untuk menghasilkan minyak laut sebanyak 136 ribu liter per hektar per tahun. Ini jauh melebihi produktivitas sawit yang menghasilkan minyak 6000 liter per hektar per tahun. Tidak seperti sawit yang perlu tiga tahun untuk panen perdana, mikroalga laut hanya perlu waktu satu minggu untuk panen dan mendapat minyak. Botryococcus braunii, sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Kandungan oil algae berupa senyawa terpen mencapai 75% berat kering. Sedangkan kandungan lemak nabati kedelai hanya sekitar 18%, canola 40%, dan bunga matahari 42%. B braunii dapat dikembangkan untuk memproduksi oktana, kerosene, dan biodiesel.

Pengembangan mikroalga sebagai sumber energi masa depan ini sangat penting untuk menjawab isu krisis pangan yang selama ini melanda belahan dunia. Majalah Science (2008) menyebutkan bahwa konversi pangan ke biofuel mengakibatkan ekstensifikasi lahan perkebunan massal. Di Corn Belt Amerika Serikat, biofuel mengakibatkan ditanaminya 20 juta ha jagung yang sebelumnya kebun kedelai. Hal ini tentu sangat mengurangi produksi kedelai. USA merupakan produsen terbesar bioethanol jagung dan telah mengkonversi sebanyak 81 juta ton jagung 2007 (25% total produksi). Kanada, Tiongkok dan EU menggunakan 5 juta ton jagung. Setengah dari produksi minyak nabati di EU dikonversi menjadi biofuel. Akhirnya IMF menyimpulkan bahwa biofuel bertanggung jawab pada peningkatan 70% harga jagung dan 40% harga kedelai. Bahkan, World Food Program, menyebut konversi pangan ke biofuel sebagai tsunami of hunger, hal ini dikarenakan untuk membuat 13 galon bioetanol dibutuhkan 510 punds jagung yang cukup untuk memberi makan satu anak selama setahun di negara miskin. Biji gandum mampu menghasilkan biofuel sebanyak 2.500 liter/ha, jagung sebesar 3.500 liter/ha, tebu 6.000 liter/ha, sedangkan mikroalga mampu mencapai ratusan ribu liter/ha.

Isu krisis energi juga tidak kalah penting. Bahkan dunia saat ini saling berlomba untuk mencari energi alternatif baru dan terbarukan. Berbagai riset dan penelitian dilakukan untuk menemukan sumber energi baru. Seperti Amerika yang secara tidak langsung berhasil memaksa negara-negara OPEC untuk menurunkan harga minyaknya dikarenakan AS telah menemukan dan memproduksi shale gas. Penemuan shale gas ini cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar daerah tersebut setidaknya untuk 40 tahun berikutnya. Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Saat ini, untuk mendapatkan gas pada kedalaman 6.000 – 7.000 kaki (sekitar 2000an meter), cukup dilakukan dengan mendapatkan langsung batuan induknya (shale) yang berkualitas dan mengindikasikan gas, kemudian bor dan lakukan fracturing (melakukan perekahan lapisan batuan dengan pompa hidraulik yang bertekanan tinggi), dan produksi shale gas pun dapat dimulai. Metoda ini telah terbukti sejak tahun 1998, dengan dimulainya produksi gas di lapangan Newark East, North-Central Texas, yang hingga saat ini telah dibor sebanyak lebih dari 2.340 sumur dengan rata-rata kedalaman 6.500 kaki. Saat ini, Haynesville Shale yang membentang dari Texas ke Louisiana telah menghasilkan shale gas dengan biaya yang rendah, US$ 3 per mbtu. Jika dibandingkan dengan biaya produksi di Barnett Shale pada awal 1990-an, harganya telah turun sebesar US$ 2 per mbtu. Jadi, Amerika telah sejak lama melakukan riset dan penelitian mengenai sumber energi baru ini (shale gas) dan kini mereka telah memetik kerja keras mereka selama berpuluh-puluh tahun.

Bagaimana dengan kondisi energi Indonesia kini?

Pada tahun 2014 Indonesia menduduki peringkat ke-69 dari 129 negara dalam hal ketahanan energi yang dikeluarkan oleh Dewan Energi Dunia (World Energy Council). International Energy Agency (IEA) mendefinisikan ketahanan energi sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau. Lebih lanjut, ukuran yang dipakai untuk menilai suatu negara dikatakan memiliki ketahanan energi apabila memiliki pasokan energi untuk 90 hari kebutuhan impor setara minyak. Ketahanan energi dianggap penting karena energi merupakan komponen penting dalam produksi barang dan jasa. Segala bentuk gangguan yang dapat menghambat ketersediaan pasokan energi dalam bentuk bahan bakar primer (BBM, gas dan batubara) maupun kelistrikan dapat menurunkan produktivitas ekonomi suatu wilayah dan jika magnitude gangguan sampai pada tingkat nasional dapat membuat target pertumbuhan ekonomi meleset dari yang ditetapkan. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran, mengatakan, kondisi ketahanan energi dalam negeri bisa dikategorikan rapuh atau mengkhawatirkan. Indonesia hanya mengandalkan cadangan operasional untuk energi, yaitu ketersediaan stok bahan bakar minyak untuk 18-21 hari.

Oleh karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk mengembangkan riset-riset strategis segala potensi sumber energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Mulai dari energi panas bumi, gelombang, angin, air dsb. Salah satunya yang potensial ini adalah biofuel dari mikroalga laut atau lebih dikenal dengan nama Petroalgae. Indonesia yang dua per tiga wilayahnya adalah laut sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lahan budidaya mikroalga. Panjang pesisir pantai Indonesia yang merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, kurang lebih 80 ribu kilometer dan 20 kilometer panjangnya sangat potensial untuk dikembangkan mikroalga laut. Dengan asumsi lebar dari garis pantai ke arah laut tempat budidaya mikroalga adalah 1 km, yang berarti tersedia setidaknya area 2 juta hektar. Mengacu penelitian Shanap dkk (2009) persentase minyak yang dapat dihasilkan oleh mikroalga dapat mencapai 136 ribu liter/ha. Dengan menganggap produktivitas mikroalga dilapangan hanya 10 persen dari produktivitasnya di laboratorium, total produksi minyak laut yang dapat diperoleh dari area dua juta hektar ini sebanyak 120 miliar liter per tahun atau dua juta barel per hari. Melihat konsumsi BBM Indonesia 1,5 juta barel per hari maka energi dari mikroalga ini jauh lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan BBM.

Pengembangan mikroalga sudah dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Berdasarkan perhitungan yang ada, pengolahan mikroalga untuk lahan seluas 4.646.000.000 ha mampu menghasilkan biodiesel yang akan dapat mengganti kebutuhan solar di Amerika Serikat. Luas lahan ini hanya 1% dari total lahan Indonesia yang digunakan untuk lahan pertanian dan padang rumput. Wagner (2007) melaporkan pula bahwa mikroalga dapat menghasilkan biodiesel 18.927-75.708 liter/acre/tahun. Oleh sebab itu, mikroalga sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia sebagai bahan baku biodiesel. Sementara di Denmark, mikroalga yang ditanam pada sistem tertutup mampun menghasilkan bioetanol 175-262 ton/ha/tahun.

Melihat laut Indonesia yang sangat potensial sekali untuk dikembangkan sebagai lahan biofuel mikroalga, maka diperlukan penelitian dan riset yang mendalam untuk mengembangkan mikroalga ini. Tentulah ini perlu direncanakan secara matang dan kesediaan berbagai pihak untuk turut serta mempelopori pengembangan mikro alga seperti pihak pemerintah dalam hal ini kementrian riset dan teknologi dan pendidikan tinggi, akademisi, pelajar, ilmuwan-ilmuan Indonesia dan berbagai pihak yang berkecimpung dalam industri energi Indonesia. Berkaca dari Amerika Serikat yang sukses mengembangkan shale gas sehingga bisa mempunyai cadangan energi selama 40 tahun selanjutnya dan mereka telah bersabar selama 30 tahun untuk menemukan dan mengembangkan shale gas hingga bisa ekonomis untuk diproduksi seperti yang mereka nikmati sekarang ini, maka cukuplah untuk memotivasi bangsa Indonesia bersabar dan tekun dalam mengembangkan energi biofuel mikroalga ini sebagai sumber energi masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun