MERAWAT EKSISTENSI KITAB KUNING SEBAGAI WARISAN BUDAYA INTELEKTUAL ISLAM DI ERA DIGITAL
      Sejak abad ke-19 M, disadari ataupun tidak, modernisasi atau globalisasi lambat laun telah menguasai dunia. Perkembangan zaman telah membawa kehidupan menuju pembaruan. Sebagai manusia yang tak lepas dari ketergantungan, mau tidak mau harus beradaptasi dengan perubahan, tidak terkecuali denga ilmu agama beserta medianya. Transformasi keilmuan pun mulai berubah dari pendekatan tradisional kepada pendekatan rasional. Melihat perkembangan dunia yang amat pesat ini, terdapat bermacam-macam respon dari berbagai kalangan, tak terkecuali umat Islam. Perubahan yang terus muncul ini menyentuh hampir seluruh lini kehidupan manusia dari berbagai aspek. Nilai-nilai moral agama dengan sendirinya dihadapkan pada realitas yang tidak memungkinkan untuk dipungkiri, yaitu terjadinya reduksi agama. Hal ini terjadi karena kekeringan nilai luhur agama; kekeringan nilai moral dan spiritual, sebab masyarakat saat ini hanya menempatkan materialistis dan pragmatis sebagai cita-cita ideal dalam kehidupannya.
      Dalam hal ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia tentunya jangan tinggal diam dalam menghadapi tantangan globalisasi ini. Pesantren harus mampu mengembangkan cara pandang baru dalam menghadapi era modernisasi ini dengan cara berpegang teguh pada literasi yang selama ini digunkan,yakni kitab kuning. Para santri di pondok pesantren tentunya sudah tidak asing dengan kitab bertulisan arab yang berisi kajian ilmu Agama Islam, tidak berharakat, dan biasanya ditulis atau dicetak pada kertas berwarna kuning, atau lebih akrab disebut "Kitab Kuning". Pada kesehariannya, para santri hampir tidak pernah lepas dari kitab kuning, bahkan ada anggapan bahwa bukan pondok pesantren jka tidka belajar kitab kuning. Kitab kuning juga sering disebut sebagai turats yang dalam bahasa arab memiliki arti warisan. Maksudnya, turats adalah buku warisan atau peninggalan ulama klasik yang sampai sekarang masih dijadikan acuan dalam mempelajari suatu fan ilmu.
Karya-karya yang ditulis oleh para cendikiawan ini merupakan bukti otentik kemapanan keilmuan Islam dalam sumbangsih peradaban manusia. Sikap-sikap keilmuan yang ditulis oleh generasi-generasi cendikiawan tersebut sangat mencerminkan semangat intelektual, sehingga mampu memunculkan sebuah karya fenomenal bagi sebuah peradaban. Maka selayaknya kita harus bersikap penuh ta'dzim dan hormat terhadap cendikiawan terdahulu. Dalam konteks yang lebih serius, kitab kuning atau turats ini merupakan suatu upaya rekognisi ilmiah yang merepsentasikan episteme pengetahuan di mana di dalamnya terdapat struktur pembahasan, konsep tema, dan metodologi yang sudah matang.
Seperti yang diketahui, kitab kuning adalah buku teks perihal keagamaan yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Sebagian kitab kuning yang dipelajari para santri ditulis oleh ulama terdahulu dengan konteks zaman dan tempat yang jauh berbeda dibanding saat kitab itu dipelajari oleh mereka. Namun, kitab-kitab tersebut masih terus dipelajari hingga kini oleh para santri di pondok pesantren. Sebab, pengajian kitab kuning ini menjadi salah satu unsur wajib bahkan sudah menjadi tradisi di pesantren.
Â
Di Indonesia sendiri, selain memiliki kekayaan alam yang melimpah dan tak ternilai, Indonesia juga memiliki harta warisan yang lebih berharga. Harta tersebut tak lain adalah kitab-kitab hasil pergulatan intelektual dialektik para ulama Nusantara yang mereka tidak hanya mengutip, meringkas dan menjabarkan saja, akan tetapi juga melakukan kontekstualisasi khazanah keilmuan Islam yang sangat luas dengan kondisi alam Nusantara di mana mereka hidup, berkeluarga dan mengembangkan dakwah Islam di situ. Para ulama Nusantara terdahulu tidak lantas menafikan ilmu-ilmu yang sebelumya sudah bertempat dan ada terlebih dahulu di alam Nusantara, kemudian menggantikannya dengan segala hal yang ada dalam kitab-kitab klasik ulama salaf guna menjawab tantangan era dan masanya sendiri. Namun juga, para ulama Nusantara berusaha untuk mendialogkan kembali ajaran-ajaran para salafus shalih untuk kemudian diolah dan diramu supaya memunculkan hasil ijtihad-ijtihad baru yang lebih relevan dan bersifat ke-Nusantaraan.
Namun, yang sangat disayangkan saat ini adalah kitab-kitab karya ulama Nusantara tersebut mulai terabaikan dan tergerus oleh arus perkembangan zaman. Banyak yang mengira bahwa karya-karya ulama Nusantara terdahulu adalah pemikiran pinggiran yang bersifat lokal. Padahal jika melihat pada konteks yang sebenarnya, hampir sebagian besar ayat-ayat Al-Quran diturunkan berdasar pada asbabun nuzul tertentu yang pada konteks tertentu pula. Sehingga problem-problem yang diketengahkan oleh sebagian ayat-ayat Al-Quran lebih bersifat parsial (juz'i), bukan universal (kulli). Akan tetapi hal tersebut tidak lantas menjadikan Al-Quran sebagai kitab suci yang bersifat lokal. Para ulama pun tidak kalah cara dalam mengatasi problem tersebut. Ada kaidah ushul/tafsir yang menjawab masalah-masalah itu, semisal kaidah "Al-Ibrah bi 'umumil lafdzi la bi khshushusis sabab, masalikul 'illah", dan seterusnya. Semua itu tak lain guna membuktikan keuniversalan ajaran Al-Quran. Pola yang sama juga bisa diterapkan dalam memahami turats ulama Nusantara menjadi manifestasi berharga milik bangsa Indonesia.
Turats-turats karya para ulama baik yang klasik maupun yang di Nusantara perlu dilakukan rekontekstualisasi ata revitalisasi yang berpijak pada prinsip mengambil hal baru yang lebih baik. Sebab, eksistensi santri dan kitab kuning mampu menjawab perubahan zaman jika metode pengkajian tersebut tidak terpaku kepada teks saat kitab tersebut ditulis, melainkan menyesuaikan dengan kondisi zaman sekarang. Jadi tantangannya adalah bagaimana caranya agar santri mampu membaca kitab kuning dalam konteks peradaban baru. Perkembangan sains dan teknologi menuntut santri untuk merekonstruksi kitab kuning sehingga menjadi kekuatan yang khas dalam kehidupan terkini, bukan malah ditinggalkan karena diangap tidak mampu menjawab tantangan zaman, serta tidak pula bersikap anti modernisasi dengan bersikukuh berpegang teguh pada teks kitab kuning. Rekonstruksi semacam ini menjadi progres besar bagi pesantren di mana progres ini juga dapat disebut tradisi dan pembaruan.
Keragaman materi kitab kuning sesungguhnya sama dengan keragaman buku-buku terbitan modern sekarang. Tidak ada modernitas tanpa orisinalitas. Modernitas yang lepas dari nilai dan norma masa lalu berarti melepas identitas diri sendiri dan menukarnya dengan identitas yang lain, sebab turats merupakan sarana dan modernitas merupakan tujuan. Kitab-kitab karya ulama Nusantara merupakan manifestasi berharga yang kekal sepanjang masa, sebab yang namanya pemikiran tidak akan pernah sirna. Bahkan ia akan berkembang terus menerus saat dikaji kembali sebagai bahan sintesis untuk menemukan hukum-hukum baru yang sesuai dengan konteks kekinian. Hal tersebut tentunya sangat berbeda dengan kekayaan Nusantara lainnya yang berupa batu bara, minyak, timah, dan lain-lain. Sebab semakin digali, maka akan semakin habis terkuras dan tidak dapat diperbaharui lagi. Turats dapat dijadikan alat bantu untuk mencari solusi alternatif terhadap berbagai problematika yang sedang dihadapi umat Islam serta dapat ikut andil menghapus segala sesuatu yang dapat menghambat kemajuan. Turats tidak memiliki arti berharga jika dibiarkan mati dalam sejarah, namun ia akan terus hidup dan dapat menjadi spirit pembaharuan jika disikapi secara kritis. Dengan demikian, ia dapat menjadi sarana untuk merubah manusia menjadi subjek pembaharuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H