Mohon tunggu...
Denada Catur Puri Anggraini
Denada Catur Puri Anggraini Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hobi : menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Resensi Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan

19 Desember 2024   13:22 Diperbarui: 19 Desember 2024   13:22 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

RESENSI NOVEL KAMBING DAN HUJAN KARYA MAHFUD IKHWAN
 
Novel berjudul Kambing dan Hujan adalah sebuah kisah roman yang ditulis oleh Mahfud Ikhwan penulis kelahiran Lamongan, Jawa Timur pada 07 Mei 1980, Novel ini telah di cetak sebanyak dua edisi, edisi pertama Mei 2015 dan edisi kedua April 2018. Novel ini memiliki jumlah 388 halaman dan diterbitkan oleh Penerbit Bentang Pustaka. Novel Kambing dan Hujan adalah karya yang berhasil menjadi pemenang Sayembara Novel DKI 2014, Karya Sastra Terbaik 2015 versi Jakartabeat, dan Buku Terbaik 2015 versi Mojok.
 
Mahfud Ikhwan adalah penulis Indonesia yang produktif menulis novel, esai, cerita pendek, dan tulisan non fiksi. Pada tahun 2017 Ia menerima pengehargaan prosa atas karyanya, Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Pada tahun 2021, Ia menerima penghargaan Anugerah Sutasoma 2021 kategori karya sastra terbaik yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dari Balai Bahasa Jawa Timur untuk novel Anwar Tohari Mencari Mati (Marjin Kiri, 2021). Mahfud Ikhwan merintis karier kepenulisannya ketika masih kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, UGM. Cerpen pertamanya yang dipublikasikan berjudul "Ilham Terindah" dimuat di Annida No. 18 Th. IX 5 Juli 2000. Selain novel Kambing dan Hujan berikut beberapa novel karya Mahfud Ikhwan, Ulid Tak Ingin ke Malaysia (Jogja Bnagkit Publiser, 2009). Diterbitkan kembali sebagai Ulid: Sebuah Novel (Pustaka Ifada, 2016), Lari, Gung! Lari! (Sunda Kelapa Pustaka, 2010), Bek (2021, terbit sebagai cerita bersambung berbayar di Kumparan.com)
 
Dalam novel Kambing dan Hujan bercerita tentang Fauzia dan Miftah meminta restu orang tua, terutama ayah mereka, agar bisa melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Perjalanan mereka meminta restu pada orang tua mereka tidaklah mudah dikarenakan ayah mereka merupakan pimpinan masing-masing ormas yang ada di desa Tegal Centong. Fauzia dan Miftah berasal dari desa yang sama dengan ormas yang berbeda. Ayah Fauzia yang akrab disapa Moek merupakan pimpinan Centong Selatan yang berbasis NU. Sedangkan ayah Miftah yang bernama Iskandar adalah pimpinan ormas Muhammadiyah di Centong Utara.
 
Hal ini penulis mengajak pembaca untuk melihat mengenai realitas kehidupan keagamaan yang ada di Indonesia, dalam hal ini agama Islam. Kehidupan keislaman Indonesia saat ini dipisahkan oleh ormas-ormas. Masing-masing ormas memiliki pendapatnya mengenai tata cara beribadah dan amalan-amalan keseharian. Seperti ormas NU yang menggunakan doa Qunut saat salat Subuh, mengumandangkan dua adzan ketika salat Jumat, adanya tahlil, ziarah kubur, dan lain-lain. Dalam novel ini pun digambarkan bagaimana pengikut ormas Muhammadiyah (Pak Kandar, Cak Ali, dan lain-lain) menentang hal-hal yang dianggap baru tersebut (bid'ah). Sisi menarik lainnya adalah saat penentuan satu Syawal yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab saja, sedangkan ormas NU menambahkan metode rukyatul hilal. Karena penggunaan metode yang berbeda tersebut tak jarang kita merayakan lebaran dengan hari yang berbeda. Dalam novel ini pun tidak luput dari menggambarkan suasana perayaan hari lebaran di hari yang berbeda dalam satu desa. Dengan sedikit sentuhan komedi, penulis berhasil menggambarkan bagaimana reaksi masyarakat menghadapi lebaran di hari yang berbeda tersebut dengan saling menyindir pengikut ormas masing-masing.
 
 Cerita yang penuh dengan konflik, alur yang bergerak maju-mundur, dan keterkaitan antara banyak tokoh ini, akhirnya berhasil menyatukan kisah cinta Mif dan Fauzia dalam sebuah pernikahan. Ini menjadi awal dari perdamaian antara dua golongan yang sebelumnya saling merasa benar dan menyalahkan pihak lain. Sungguh, kekuatan cinta telah berhasil menghancurkan tembok kesombongan yang memisahkan dua ormas Islam tersebut. Bukankah sangat merugikan jika sesama umat Islam, yang hanya berbeda pendapat dalam masalah furu'iyah (cabang), malah saling menghancurkan?

Berdasarkan novel yang ditulis oleh Pememang Sayembara Novel DKJ tahun 2014 ini, seluruh masyarakat islam seharusnya sadar untuk kembali menguatkan semangat belajar sebagaimana dicontohkan oleh Pak Kandar dan Pak Fauzan di masa kecil. Selain itu, menjaga kerukunan antar golongan juga sangat penting untuk menciptakan perdamaian islam di masa depan. Sebagaimana dicontohkan oleh Mif dan Fauzia melalui pernikahan keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun