Mohon tunggu...
Abdillah
Abdillah Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya "Ter-ater" pada Malam "Salekoran" Bulan Ramadlan

13 Juni 2024   01:31 Diperbarui: 13 Juni 2024   10:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Budaya Ter-ater yang dilakukan pada malam salekoran bulan Ramadhan merupakan tradisi yang kental di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Ter-ater, yang berarti saling mengirim makanan, memiliki makna mendalam tentang kebersamaan, solidaritas, dan penghormatan terhadap sesama, serta penghormatan terhadap bulan suci Ramadhan. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai sosial dan agama yang kuat, dan layak untuk dipertahankan serta diwariskan kepada generasi berikutnya.

Pada malam salekoran, yang menandai sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, masyarakat biasanya sibuk mempersiapkan aneka makanan khas untuk dibagikan kepada tetangga dan kerabat. Kegiatan ini tidak hanya menunjukkan rasa syukur atas berkah yang telah diterima selama bulan Ramadhan, tetapi juga mempererat hubungan sosial di antara warga. Dalam era modern yang cenderung individualistik, tradisi ini menjadi pengingat pentingnya kebersamaan dan saling peduli dalam kehidupan bermasyarakat.

Budaya Ter-ater mengajarkan tentang pentingnya berbagi. Dengan membagikan makanan kepada orang lain, kita diajarkan untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan kesejahteraan orang di sekitar kita. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang mengutamakan zakat, infak, dan sedekah sebagai wujud nyata dari kepedulian sosial. Tradisi ini juga membantu menjaga keseimbangan sosial dengan mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang mampu.

Selain itu, Ter-ater pada malam salekoran memperkuat ikatan kekeluargaan. Dalam proses mempersiapkan dan mengantar makanan, anggota keluarga berkumpul dan bekerja sama, menciptakan momen kebersamaan yang berharga. Anak-anak juga dilibatkan dalam tradisi ini, memberikan mereka pemahaman sejak dini tentang pentingnya berbagi dan membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain.

Namun, di tengah arus modernisasi dan globalisasi, budaya Ter-ater menghadapi tantangan untuk tetap lestari. Banyak masyarakat perkotaan yang mulai meninggalkan tradisi ini karena kesibukan atau perubahan gaya hidup. Padahal, melestarikan tradisi ini sangat penting untuk menjaga identitas budaya dan nilai-nilai sosial yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, perlu adanya inisiatif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat, untuk terus mengkampanyekan dan memfasilitasi pelaksanaan Ter-ater. Misalnya, dengan mengadakan lomba atau acara komunitas yang melibatkan tradisi ini, sehingga dapat menarik minat generasi muda untuk ikut serta dan merasakan langsung manfaatnya.

Dari sudut pandang ekonomi, Ter-ater juga memberikan dampak positif. Kegiatan ini mendorong perekonomian lokal, terutama bagi para pedagang makanan dan bahan baku. Pada bulan Ramadhan, permintaan akan makanan khas meningkat, sehingga membuka peluang usaha dan meningkatkan pendapatan bagi para pedagang kecil. Ini menunjukkan bahwa budaya tradisional juga dapat berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Selanjutnya, budaya Ter-ater dapat dijadikan sebagai alat diplomasi budaya. Dalam dunia yang semakin terhubung, tradisi ini bisa diperkenalkan kepada komunitas internasional sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Melalui kegiatan pertukaran budaya atau festival internasional, Ter-ater bisa menjadi media untuk memperkenalkan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas yang ada dalam masyarakat Indonesia kepada dunia.

Pada akhirnya, mempertahankan budaya Ter-ater adalah tanggung jawab bersama. Setiap individu dalam masyarakat memiliki peran penting dalam melestarikan dan mengajarkan tradisi ini kepada generasi muda. Dengan begitu, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Ter-ater dapat terus hidup dan memberi warna dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya pada bulan suci Ramadhan.

Secara keseluruhan, Ter-ater pada malam salekoran bukan sekadar tradisi berbagi makanan, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan kepedulian sosial yang harus terus dijaga dan dilestarikan. Dengan menjaga tradisi ini, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga memperkuat ikatan sosial yang menjadi dasar dari kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan sejahtera

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun