Di desa Brumbung Aeng Panas, berdiri sebuah madrasah sederhana namun penuh semangat, bernama Miftahul Ulum. Madrasah ini merupakan pusat pembelajaran dan harapan bagi anak-anak desa yang ingin mengejar mimpi mereka. Meskipun fasilitasnya terbatas, kualitas pendidikannya tidak diragukan lagi. Di sinilah, seorang guru muda dan penuh dedikasi bernama Bu Sarah mengabdikan dirinya.
Bu Sarah baru saja lulus dari sekolah keguruan dan mendapat penempatan di Miftahul Ulum. Setiap pagi, dia berjalan melewati jalan-jalan desa yang asri menuju madrasah, diiringi sapaan hangat penduduk setempat yang sudah mengenalnya. Wajahnya selalu cerah, penuh semangat untuk membagikan ilmu kepada murid-muridnya. Dia mengajar pelajaran Bahasa Arab dan Al-Qur'an dengan metode yang menarik dan interaktif, sehingga para siswa senang belajar dengannya.
Di antara para murid, ada seorang siswa bernama Zainal. Zainal adalah anak yang cerdas dan rajin, meskipun berasal dari keluarga sederhana. Dia selalu duduk di barisan depan, menyimak setiap kata yang diucapkan Bu Sarah dengan penuh perhatian. Mata Zainal berbinar-binar setiap kali Bu Sarah menjelaskan materi pelajaran, dan dia selalu aktif bertanya jika ada yang tidak dimengertinya.
Suatu hari, setelah jam pelajaran usai, Bu Sarah melihat Zainal masih duduk di dalam kelas, mengerjakan tugas dengan tekun. Seluruh siswa sudah pulang, tapi Zainal tetap asyik dengan bukunya.
"Zainal, kenapa belum pulang?" tanya Bu Sarah dengan lembut, mendekati mejanya.
Zainal tersenyum malu. "Saya ingin menyelesaikan tugas ini, Bu. Biar besok tidak terlambat dikumpulkan."
Bu Sarah merasa kagum dengan semangat belajar Zainal. Dia duduk di sebelah Zainal dan melihat pekerjaan yang sedang dibuatnya. "Tugas ini sangat bagus, Zainal. Kamu benar-benar mengerjakannya dengan baik. Namun, mungkin kamu bisa menambahkan sedikit penjelasan di bagian ini," katanya sambil menunjukkan bagian yang dimaksud.
Zainal mengangguk dan mencatat saran dari Bu Sarah. Sejak saat itu, Bu Sarah dan Zainal sering berbicara setelah jam pelajaran. Bu Sarah memberikan buku-buku tambahan untuk dibaca Zainal dan membantunya memperbaiki teknik menulis dan memahami materi yang sulit. Mereka mulai berdiskusi tentang banyak hal, tidak hanya tentang pelajaran, tetapi juga tentang kehidupan dan impian.
Waktu berlalu, hubungan antara Bu Sarah dan Zainal semakin erat. Mereka menemukan banyak kesamaan, terutama dalam hal semangat belajar dan keinginan untuk membantu orang lain. Bu Sarah melihat potensi besar dalam diri Zainal dan berusaha membimbingnya sebaik mungkin. Zainal pun merasa sangat beruntung memiliki guru seperti Bu Sarah yang selalu mendukung dan memotivasinya.
Suatu hari, saat sore menjelang, Bu Sarah sedang menyiapkan materi pelajaran di ruang guru. Zainal datang menghampirinya dengan wajah penuh semangat.
"Bu, terima kasih banyak atas semua bimbingan dan dukungan Ibu," kata Zainal dengan sungguh-sungguh. "Saya merasa sangat terbantu dan termotivasi oleh Ibu."
Bu Sarah tersenyum, merasakan kebahagiaan yang mendalam. "Zainal, kamu adalah murid yang luar biasa. Teruslah belajar dan kejar impianmu. Saya yakin kamu bisa mencapai semua yang kamu cita-citakan."
Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan yang berbeda mulai tumbuh di hati Zainal. Setiap kali dia melihat Bu Sarah, ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar-debar. Dia merasa nyaman dan bahagia setiap kali bersama Bu Sarah. Zainal mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Bu Sarah bukan lagi sekadar kekaguman seorang murid kepada gurunya, tetapi sudah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Bu Sarah juga mulai merasakan hal yang sama. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap profesional dan menjaga jarak, dia tidak bisa memungkiri bahwa ada perasaan khusus yang tumbuh di hatinya untuk Zainal. Dia sering kali teringat akan percakapan mereka, senyum Zainal, dan semangat belajarnya yang tak pernah padam.
Suatu sore, saat Bu Sarah sedang berjalan pulang, Zainal mengejarnya. "Bu Sarah, bolehkah saya berbicara sebentar?" tanyanya dengan ragu.
"Tentu, Zainal. Ada apa?" jawab Bu Sarah, meskipun hatinya berdebar-debar.
Zainal mengambil napas dalam-dalam. "Bu, saya... saya ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama saya pendam. Saya tahu ini mungkin tidak pantas, tapi saya harus jujur dengan perasaan saya."
Bu Sarah menatap Zainal dengan penuh perhatian. "Katakanlah, Zainal. Saya akan mendengarkan."
"Saya... saya menyukai Ibu. Bukan hanya sebagai guru, tetapi sebagai seorang perempuan. Saya tahu ini salah dan mungkin membuat Ibu tidak nyaman, tapi saya harus mengatakannya," ungkap Zainal dengan suara gemetar.
Bu Sarah terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Zainal. Hatinya campur aduk antara kebingungan dan perasaan yang sama. Akhirnya, dia berkata dengan lembut, "Zainal, saya sangat menghargai keberanianmu untuk jujur. Perasaan ini juga bukan hal yang mudah bagi saya. Namun, kita harus ingat bahwa saya adalah gurumu, dan kita harus tetap profesional."
Zainal menunduk, merasa malu dan kecewa. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud membuat Ibu tidak nyaman."
Bu Sarah menyentuh bahu Zainal dengan lembut. "Tidak apa-apa, Zainal. Perasaan itu adalah sesuatu yang alami dan kita tidak bisa mengendalikannya. Yang penting, kita harus tahu bagaimana menempatkannya dengan baik. Saya sangat menghargai kejujuranmu, tapi untuk sekarang, mari kita fokus pada pendidikanmu dan impianmu."
Zainal mengangguk dengan berat hati. "Saya mengerti, Bu. Terima kasih sudah mendengarkan."
Sejak percakapan itu, hubungan Bu Sarah dan Zainal tetap hangat namun lebih terjaga. Mereka terus berdiskusi tentang pelajaran dan impian Zainal, namun mereka juga menjaga jarak untuk menghindari perasaan yang lebih dalam berkembang.
Waktu berlalu, Zainal lulus dengan nilai yang sangat baik dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada hari kelulusannya, dia memberikan surat kepada Bu Sarah. Surat itu berisi ucapan terima kasih atas semua bimbingan dan motivasi yang telah diberikan, serta janji untuk terus mengejar impian dan menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat.
Bu Sarah membaca surat itu dengan haru. Dia tahu, meskipun perasaan cinta mereka tidak bisa terwujud seperti yang diinginkan, hubungan mereka telah memberikan pengaruh besar dalam hidup masing-masing. Bu Sarah merasa bangga dan bersyukur pernah menjadi bagian dari perjalanan Zainal.
Zainal pergi meninggalkan desa untuk mengejar pendidikannya, namun kenangan akan Bu Sarah dan madrasah Miftahul Ulum tetap terpatri dalam hatinya. Bu Sarah melanjutkan pengabdiannya di madrasah, menginspirasi murid-murid lainnya dengan semangat yang sama. Keduanya berjalan di jalan masing-masing, membawa cinta dan kenangan indah sebagai bagian dari perjalanan hidup mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H