Prinsip pendidikan sebagai investasi merupakan landasan bagi orang tua siswa untuk membiayai pendidikan anaknya. Layaknya seorang pengusaha dalam kepemilikan saham di suatu perusahaan, semakin besar dana yang diinvestasikan, maka semakin besar pula keuntungan bagi hasil yang akan didapatkan. Prinsip inilah yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah dengan melakukan privatisasi lembaga pendidikan yang berujung pada swastanisasi (melalui UU BHP).Prinsip pengusaha juga telah menggerogoti sebagian atau mungkin semua orang tua siswa. Logikanya adalah semakin mahal biaya pendidikan yang diinvestasikan, maka kemungkinan semakin besar pula hasil yang didapatkan. Meskipun harus menggadaikan emas, mobil, sawah, kebun, rumah, atau bahkan sampai meminjam uang di bank atau tetangga. Pertanyaannya kemudian, apakah prinsip investasi pengusaha selalu dapat dikontekskan sama dalam dunia pendidikan? Dan apakah sekolah mahal selalu lebih baik dari sekolah murah?
Jika prinsip pengusaha tersebut berlaku untuk dunia pendidikan, lalu bagaimana dengan Si Miskin? Apakah Si Miskin masih mempunyai cukup uang untuk menginvestasikan uangnya untuk pendidikan? Sedangkan untuk isi perut saja harus “dijamak” dua kali bahkan mungkin hanya sekali sehari. Mereka juga tak memiliki harta untuk digadaikan serta jaminan pinjaman uang ke tetangga apalagi ke bank. Atau memang Si Miskin tidak berhak untuk sekolah dan mencicipi pendidikan? Lalu siapa yang harus bertanggung jawab?
Tanggung Jawab Pemerintah
Realitas di atas tidak terlepas dari jeratan ekonomi neoliberal sebagai konsekuensi globalisasi ekonomi yang berorientasi ekonomi pasar (market-driven economy). Salah satu implementasi dari sistem ekonomi neoliberal adalah dengan melakukan pencabutan subsidi di berbagai sektor kehidupan sosial, termasuk subsidi pendidikan dan subsidi BBM. Maka terjadilah privatisasi pendidikan yang dibungkus oleh kebijakan otonomi perguruan tinggi maupun otonomi sekolah.
Terbatasnya anggaran pendidikan yang dikucurkan oleh pemerintah “memaksa” pihak sekolah untuk mencari sumber pundi-pundi keuangan sekolah demi keberlangsungan sekolah. Maka sumber yang paling mudah dan paling cepat untuk mendatangkan devisa bagi sekolah adalah orang tua siswa. Dibentuklah perkumpulan orang tua siswa sebagai representasi seluruh orang tua siswa/mahasiswa untuk memecahkan problem keuangan sekolah/perguruan tinggi secara bersama-sama, antara pihak sekolah dan orang tua siswa.
Orang tua siswa sebagai objek untuk dieksploitasi harus membayar mahal biaya pendidikan di sekolah, sekalipun itu berstatus sekolah negeri. Bagi orang tua siswa dengan tingkat ekonomi level menengah ke atas, biaya mahal bukan menjadi masalah besar. Karena prinsip orang tua adalah biaya mahal itu adalah investasi masa depan untuk anaknya.
Lalu, dimana posisi siswa yang orang tuanya miskin? Modal kecerdasan intelektual tidak menjamin Si Miskin itu mencicipi pendidikan. Realitas tersebut bertolak belakang dengan UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Pada pasal (4) disebutkan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Bahkan Pasal (5) menyatakan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Orang tua siswa Si Miskin juga tidak luput dari objek eksploitasi. namun bukan uangnya yang dieksploitasi, melainkan pemikirannya. Hampir di setiap momen kampanye pemilihan bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, hingga presiden, pemikiran mereka dicekoki dengan iming-iming pendidikan gratis atau paling tidak pendidikan murah. Jargon pendidikan seolah menjadi komoditi utama yang laku untuk dijual pada saat kampanye politik. Namun setelah Pilkada/Pemilu, Si Miskin tetap saja tidak sekolah, dan orang tua siswa masih harus merogoh kocek untuk pendidikan anaknya.
Padahal siapapun yang terpilih di Pilkada/Pemilu, pendidikan memang harus menjadi prioritas sesuai amanat konstitusi. Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Pendidikan dasar yang dimaksud adalah pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat.
Buruknya Mekanisme Penganggaran
Masalah lain berkaitan dengan hilangnya kesempatan Si Miskin memperoleh pendidikan adalah proses penganggaran yang tidak adil. Mekanisme pembuatan anggaran pendidikan pada tingkat pusat, dinas, dan sekolah tidak partisipatif, tertutup, dan tidak akuntabel. Penyusunan anggaran pendidikan juga terkesan sentralistik, sehingga tidak ada ruang mengakomodir masukan dari warga dan guru. Hal yang sama terjadi pada tingkat dinas dan sekolah. Malah, pada tingkat sekolah pembuatan dan implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) didominasi oleh kepala sekolah. Ruang bagi stakeholder seperti guru dan orang tua sangat tertutup bahkan APBS dianggap sebagai rahasia negara.
Walau anggaran pendidikan mengalami kenaikan, tapi porsi untuk program yang secara langsung mendukung terbukanya akses dan meningkatnya kualitas, seperti program pendidikan dasar gratis terutama bagi Si Miskin tetap tidak berubah. Misalnya, alokasi dana untuk bantuan operasional sekolah. Tambahan dana yang disediakan pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan kebutuhan untuk membuka akses dan menyedikan pendidikan berkualitas bagi warga.
Proses penganggaran pun mengabaikan semangat otonomi sekolah yang didorong pemerintah melalui kebijakan. Logika yang mesti digunakan, proses penyusunan anggaran pusat mesti didasarkan pada pengajuan program dan anggaran dari sekolah dan daerah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, anggaran disusun secara top down, sehingga secara tidak langsungpemerintah menjadi penentu kegiatan-kegiatan yang akan dijalankan oleh sekolah
Terjebak di Lingkaran Setan Kemiskinan
Keterbatasan memperoleh akses pendidikan akan semakin menjerumuskan Si Miskin ke dalam jurang kebodohan. Perjuangan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan hanya menjadi sesuatu yang utopis. Akhrinya Si Miskin akan selamanya menjadi bodoh dan tidak mempunyai keterampilan. Karena tidak mempunyai keterampilan mereka tidak mempunyai pekerjaan, apalagi menciptakan lapangan pekerjaan. Jika menjadi pengangguran, mereka akan menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan juga pemerintah.
Dengan demikian mereka selamanya tidak akan menjadi siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Siklus ini akan terus berlanjut dari generasi ke generasi. Menurut Max-Neef (2003), kondisi tersebut disebut sebagai Kemiskinan Identitas. Kemiskinan identitas adalah terbatasnya perbauran antar kelompok sosial dan terfragmentasi (terpisah) dari komunitasnya. Sedangkan menurut Karl Marx, kondisi tersebut disebut sebagai alienasi (keterasingan). Keterasingan Si Miskin terhadap lingkungannya sendiri. terasing dari hak-haknya untuk memperoleh pendidikan sebagai hak dasar setiap manusia yang diatur dalam konstitusi negara. Dan Si Miskin selamanya akan menjadi “Tamu” di negerinya sendiri!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H