Mohon tunggu...
Damianus Naijes
Damianus Naijes Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Nusa Cendana Kupang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengaruh Diplomasi Digital terhadap Hubungan Internasional di Abad 21

19 Januari 2025   20:45 Diperbarui: 19 Januari 2025   20:27 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Pada abad ke-21, persimpangan antara teknologi dan diplomasi telah mengubah lanskap hubungan internasional. Diplomasi digital memanfaatkan perangkat dan platform digital untuk keterlibatan diplomatik---telah muncul sebagai mekanisme penting yang digunakan negara untuk berkomunikasi, bernegosiasi, dan memproyeksikan soft power secara global (Bello, 2023). Makalah ini mengeksplorasi pengaruh transformatif diplomasi digital pada hubungan internasional, dengan fokus pada bagaimana pemerintah, organisasi internasional, dan aktor non-negara memanfaatkan teknologi digital untuk mendorong kerja sama, mengelola konflik, dan memajukan tujuan kebijakan luar negeri (Rachmawati, Kuncoro, & Sari, 2024).

Meskipun diplomasi digital semakin penting, wacana akademis masih terfragmentasi, sering kali dibayangi oleh studi tentang praktik diplomatik tradisional. Sementara penelitian yang ada menyoroti potensi diplomasi digital (Saipiatuddin et al., 2023), eksplorasi implikasi jangka panjangnya terhadap kedaulatan negara, keamanan siber, dan dinamika geopolitik masih terbatas (Rehman & Rassias, 2024). Studi ini mengatasi kesenjangan ini dengan memberikan analisis komprehensif tentang peran diplomasi digital yang terus berkembang dalam membentuk hubungan internasional kontemporer.

Di era di mana misinformasi, perang siber, dan kemajuan teknologi yang pesat menimbulkan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi stabilitas global, memahami diplomasi digital menjadi keharusan. Pemerintah semakin bergantung pada saluran digital untuk mengurangi krisis, melibatkan khalayak global, dan melawan kampanye disinformasi (Asad & Irfan, 2024). Urgensinya terletak pada identifikasi bagaimana diplomasi digital dapat berfungsi sebagai alat untuk penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian di wilayah yang bergejolak.

Bello (2023) menggarisbawahi peran platform media sosial dalam komunikasi diplomatik, menekankan kapasitasnya untuk memperkuat pesan diplomatik dan mendorong dialog lintas batas. Demikian pula, Saipiatuddin dkk. (2023) mengeksplorasi penggunaan perangkat digital yang strategis dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam diplomasi internasional. Namun, Rehman dan Rassias (2024) menyoroti kerentanan keamanan yang melekat pada platform digital, yang menimbulkan kekhawatiran tentang privasi data dan ancaman dunia maya. Kebaruan makalah ini terletak pada pendekatan holistiknya, yang memadukan wawasan dari ilmu politik, studi komunikasi, dan keamanan siber untuk menilai dampak multifaset diplomasi digital. Tidak seperti penelitian sebelumnya yang hanya berfokus pada atas manfaatnya, penelitian ini secara kritis mengkaji risiko dan keterbatasannya, menawarkan perspektif yang seimbang tentang peran diplomasi digital di arena internasional (Buschmeier, 2024). 

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengevaluasi bagaimana diplomasi digital memengaruhi hubungan internasional dengan menganalisis studi kasus, kerangka kebijakan, dan inisiatif diplomatik dari berbagai kawasan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1). Identifikasi pendorong utama diplomasi digital; 2). Menilai dampak diplomasi digital terhadap resolusi konflik dan kerjasama internasional; 3). Mengusulkan strategi untuk mengurangi risiko yang terkait dengan diplomasi digital. 

Temuan ini diharapkan bermanfaat bagi para pembuat kebijakan, diplomat, dan cendekiawan dengan memberikan wawasan yang dapat ditindaklanjuti dalam memanfaatkan alat-alat digital untuk keterlibatan diplomatik yang berkelanjutan. 


Metode Penelitian 

Studi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan fokus pada tinjauan pustaka dan analisis dokumen untuk menyelidiki pengaruh diplomasi digital terhadap hubungan internasional di abad ke-21. Penelitian ini mengadopsi desain penelitian kepustakaan, dengan memanfaatkan jurnal akademik, publikasi pemerintah, laporan kebijakan, dan studi kasus untuk membangun pemahaman yang komprehensif tentang peran diplomasi digital yang terus berkembang. Metode ini memungkinkan eksplorasi mendalam tentang cara-cara di mana perangkat dan platform digital mengubah keterlibatan diplomatik dan kolaborasi internasional (Varol, 2024). 

Sumber utama meliputi artikel ilmiah, laporan resmi, dan laporan dari jurnal hubungan internasional terkemuka, lembaga pemikir, dan lembaga diplomatik. Basis data utama seperti Google Scholar, JSTOR, dan ResearchGate berfungsi sebagai repositori untuk memperoleh literatur yang relevan (Putra, 2024). Selain itu, situs web pemerintah dan publikasi dari organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa memberikan wawasan tentang aplikasi praktis diplomasi digital. Data sekunder dikumpulkan dari studi kasus dan analisis yang dilakukan pada inisiatif diplomatik digital masa lalu dan yang sedang berlangsung (Mungai & Onyango, 2024). Proses pengumpulan data berpusat pada analisis tematik dari materi yang dipublikasikan. Istilah pencarian utama meliputi "diplomasi digital," "hubungan internasional," "diplomasi abad ke-21," dan "kekuatan lunak melalui platform digital." Pendekatan ini memastikan kompilasi yang luas namun terperinci dari studi yang relevan, yang mencakup berbagai perspektif dan tren yang muncul dalam diplomasi digital (Chinwe et al., 2024). Studi kasus negara-negara yang mempelopori diplomasi digital, seperti Estonia, Amerika Serikat, dan Tiongkok, memberikan contoh konkret untuk meningkatkan analisis (Albattat, 2024). 

Analisis tematik digunakan untuk mengidentifikasi pola, kerangka kerja, dan kontradiksi yang berulang dalam literatur. Hal ini melibatkan pengkategorian data ke dalam tema-tema seperti diplomasi publik digital, keterlibatan media sosial oleh aktor negara, masalah keamanan siber, dan penggunaan kecerdasan buatan dalam strategi diplomatik (Koolaee & Shojaee, 2024). Analisis komparatif juga dilakukan untuk menilai perbedaan dan kesamaan dalam strategi diplomasi digital di berbagai wilayah geopolitik. Dengan meninjau literatur yang ada secara sistematis, studi ini berupaya untuk menyoroti potensi dan keterbatasan diplomasi digital dalam membentuk hubungan diplomatik global (Lapin, 2024). 


Hasil dan Pembahasan

Artikel-artikel yang diulas secara kolektif menggarisbawahi peran penting yang dimainkan diplomasi digital dalam membentuk kembali hubungan internasional di abad ke-21. Salah satu temuan utama adalah bahwa diplomasi digital telah menjadi alat strategis untuk meningkatkan keterlibatan dan transparansi publik (Rachmawati, Kuncoro, & Sari, 2024). Aksesibilitas platform media sosial memungkinkan para aktor negara untuk berkomunikasi secara langsung dengan khalayak global, sehingga mengurangi ketergantungan pada saluran diplomatik tradisional. Hal ini mendorong interaksi yang lebih besar antara pemerintah dan warga negara, membangun kepercayaan, dan memperkuat kerja sama internasional (Asad & Irfan, 2024).  

Tren penting dalam literatur adalah meningkatnya pentingnya diplomasi digital dalam manajemen krisis dan resolusi konflik. Albattat (2024) dan Saipiatuddin et al. (2023) menekankan bagaimana platform digital memungkinkan intervensi diplomatik yang cepat selama krisis geopolitik, memfasilitasi komunikasi dan negosiasi secara real-time. Keterlibatan digital ini berkontribusi pada stabilitas regional dengan mempromosikan dialog diplomatik dan mengurangi ketegangan antara pihak-pihak yang berkonflik. 

Namun, temuan tersebut juga mengungkap potensi risiko dan tantangan yang terkait dengan diplomasi digital, khususnya dalam bidang keamanan siber (Rehman & Rassias, 2024). Meningkatnya serangan siber yang menargetkan saluran diplomatik dan penyebaran informasi yang salah mengancam kredibilitas dan keamanan inisiatif diplomatik digital. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk memperkuat infrastruktur keamanan siber mereka guna melindungi komunikasi diplomatik yang sensitif. 

Integrasi kecerdasan buatan (AI) ke dalam praktik diplomatik merupakan tema baru yang disorot oleh Mungai dan Onyango (2024). Analisis yang digerakkan oleh AI dan alur kerja diplomatik otomatis mengubah efisiensi proses diplomatik, sehingga memungkinkan kampanye diplomatik yang lebih terarah dan efektif. Kemajuan teknologi ini khususnya terlihat di kawasan seperti Afrika dan Asia, tempat negara-negara memanfaatkan AI untuk meningkatkan jangkauan dan pengaruh diplomatik mereka. 

Studi Varol (2024) menyoroti penggunaan strategis diplomasi digital sebagai alat untuk memperluas kekuatan lunak dan pengaruh. Secara khusus, negara-negara kuat memanfaatkan platform digital untuk membentuk narasi internasional, mempromosikan agenda politik mereka, dan memperoleh keunggulan kompetitif dalam diplomasi global. Hal ini menggarisbawahi sifat diplomasi yang terus berkembang, di mana pengaruh tidak lagi terbatas pada kedutaan fisik tetapi meluas ke ranah digital. 

Secara keseluruhan, literatur menunjukkan masa depan di mana diplomasi digital akan terus berkembang, didorong oleh inovasi teknologi dan lanskap hubungan internasional yang terus berkembang. Sementara pergeseran ini menawarkan banyak peluang untuk meningkatkan kerja sama global, mengatasi tantangan terkait, seperti misinformasi dan ancaman dunia maya, akan menjadi sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas diplomasi digital dalam membina hubungan internasional yang damai. 

Temuan dari tinjauan pustaka menyoroti semakin menonjolnya diplomasi digital sebagai elemen inti hubungan internasional, terutama dalam konteks peristiwa global terkini. Akselerasi diplomasi digital dapat dikaitkan dengan pandemi COVID-19, yang memaksa keterlibatan diplomatik, pertemuan puncak internasional, dan negosiasi untuk beralih ke format virtual. Pergeseran ini menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi diplomasi di era digital, yang memperkuat peran platform digital sebagai alat yang sangat diperlukan untuk statecraft (Rachmawati, Kuncoro, & Sari, 2024). 

Contoh mencolok dari tren ini adalah konflik Rusia-Ukraina, di mana diplomasi digital telah menjadi medan perang narasi. Kedua negara telah banyak memanfaatkan media sosial untuk memengaruhi opini publik, mengumpulkan dukungan internasional, dan melawan misinformasi (Varol, 2024). Keterlibatan digital ini tidak hanya mencerminkan sifat perang diplomatik yang terus berkembang, tetapi juga menggarisbawahi peran penting yang dimainkan platform digital dalam membentuk persepsi global. Pemerintah di seluruh dunia mengakui nilai strategis diplomasi publik melalui saluran digital, menjadikannya komponen utama dari strategi kebijakan luar negeri. 

Penggunaan diplomasi digital untuk proyeksi soft power merupakan perkembangan penting lainnya, khususnya dalam persaingan antara kekuatan global seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Kedua negara terlibat dalam kampanye media sosial yang ekstensif, pertukaran budaya virtual, dan inisiatif keterlibatan publik daring untuk meningkatkan pengaruh mereka di kawasan-kawasan utama (Putra, 2024). Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok telah meluas ke ranah digital, mendorong kerja sama internasional melalui proyek infrastruktur digital dan media daring. forum Ini merupakan contoh bagaimana diplomasi digital melampaui komunikasi, menjadi alat untuk ekspansi ekonomi dan geopolitik. 

Di kawasan seperti Afrika dan Asia Tenggara, diplomasi digital telah memfasilitasi kemitraan ekonomi dan inisiatif pembangunan. Negara-negara Afrika, misalnya, semakin banyak menggunakan saluran digital untuk terlibat dengan investor internasional dan mitra diplomatik, memposisikan diri mereka sebagai pemain baru dalam ekonomi digital global (Mungai & Onyango, 2024). Agenda transformasi digital Uni Afrika menyoroti bagaimana organisasi regional mengintegrasikan diplomasi digital ke dalam kerangka kerja mereka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Namun, risiko yang terkait dengan diplomasi digital menjadi semakin nyata. Penyebaran misinformasi, serangan siber yang menargetkan infrastruktur diplomatik, dan manipulasi media sosial oleh aktor non-negara menimbulkan ancaman signifikan terhadap stabilitas internasional (Rehman & Rassias, 2024). Insiden terkini, seperti peretasan komunikasi diplomatik selama pertemuan penting PBB, menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan langkah-langkah keamanan siber yang kuat. Negara-negara semakin banyak berinvestasi dalam protokol keamanan digital untuk melindungi hubungan diplomatik yang sensitif dan mencegah perang informasi. 

Seiring dengan semakin terintegrasinya kecerdasan buatan (AI) ke dalam alur kerja diplomatik, muncul berbagai masalah etika dan regulasi. Penggunaan AI untuk mengotomatiskan keterlibatan publik, menganalisis interaksi diplomatik, dan memprediksi tren geopolitik menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas dan transparansi (Mungai & Onyango, 2024). Meskipun AI menawarkan peluang efisiensi yang tak tertandingi, penerapannya harus dikelola dengan cermat untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan bahwa diplomasi digital tetap menjadi kekuatan untuk kebaikan. Mengingat perkembangan ini, lanskap digital yang terus berkembang terus membentuk diplomasi internasional dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meningkatnya diplomasi yang digerakkan oleh AI, kedutaan besar virtual, dan meningkatnya pengaruh platform digital seperti Twitter, LinkedIn, dan TikTok dalam kenegaraan mencerminkan betapa eratnya hubungan teknologi dan diplomasi. Seiring dengan meningkatnya tantangan global seperti perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, dan konflik regional, diplomasi digital akan memainkan peran penting dalam mendorong kerja sama dan memfasilitasi tata kelola global. 

Ke depannya, kemampuan negara untuk beradaptasi dan memanfaatkan kekuatan diplomasi digital akan secara signifikan memengaruhi posisi mereka di arena internasional. Inisiatif kolaboratif, seperti Koalisi Diplomasi Digital, merupakan contoh upaya kolektif yang diperlukan untuk menetapkan norma, meningkatkan keamanan siber, dan memastikan bahwa diplomasi digital berkontribusi pada perdamaian, stabilitas, dan pembangunan berkelanjutan. 


Kesimpulan 

Integrasi diplomasi digital ke dalam hubungan internasional telah mendefinisikan ulang cara negara terlibat, bernegosiasi, dan memproyeksikan pengaruh di abad ke-21. Transformasi ini didorong oleh meningkatnya ketergantungan pada platform digital, media sosial, dan kecerdasan buatan untuk memfasilitasi interaksi diplomatik, mendorong keterlibatan publik, dan mengelola krisis. Temuan tersebut menggarisbawahi bahwa diplomasi digital tidak hanya meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik, tetapi juga memperkuat soft power, yang memungkinkan negara untuk membentuk narasi global dan memengaruhi opini internasional. Namun, di samping manfaatnya, diplomasi digital menghadirkan tantangan baru, khususnya di bidang keamanan siber, misinformasi, dan penggunaan AI yang etis. Konflik Rusia-Ukraina dan persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok menyoroti sifat ganda diplomasi digital sebagai alat untuk membangun perdamaian dan ranah persaingan geopolitik. Selain itu, meningkatnya keterlibatan negara-negara berkembang dalam diplomasi digital, seperti yang terlihat di Afrika dan Asia Tenggara, menandakan demokratisasi keterlibatan diplomatik, yang mendorong inklusivitas dalam tata kelola global.

Ke depannya, keberlanjutan dan efektivitas diplomasi digital akan bergantung pada kemampuan negara untuk mengatasi ancaman yang muncul, berinvestasi dalam keamanan siber, dan menetapkan norma internasional yang mengatur praktik diplomasi digital. Seiring dengan terus berkembangnya teknologi, diplomasi digital tidak diragukan lagi akan memainkan peran utama dalam membentuk masa depan hubungan internasional, yang berfungsi sebagai instrumen penting untuk kolaborasi, penyelesaian konflik, dan stabilitas global. 


Referensi 

 Albattat, A. (2024). Manajemen Diplomasi Digital Asing dalam Krisis dan Praktik Legitimasi: Analisis Kualitatif. Jurnal BPAS. 

Asad, M., & Irfan, M. (2024). Diplomasi Publik di Abad 21: Membangun Kemitraan Kepercayaan di Era Misinformasi. ResearchGate. 

Bello, AOO (2023). Meneliti Peran Diplomasi Digital dalam Hubungan Antarnegara Hubungan di Abad 21. ResearchGate. 

Buschmeier, M. (2024). Literatur Eropa tentang Diplomasi Militer dan Hubungan Internasional. Muse.jhu.edu. 

Rachmawati, I., Kuncoro, HR, & Sari, DL (2024). Diplomasi Digital di Abad 21: Peran Transformatif Platform Media Sosial dalam Keterlibatan Publik. Atlantis Press. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun