Mohon tunggu...
Demos Minimus
Demos Minimus Mohon Tunggu... -

Hanya rakyat biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fanatisme dan Matinya Logika Pasca Pilpres 2014

22 November 2014   04:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:10 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 2014 merupakan Pilpres paling panas sejak Pilpres pertama tahun 2004 lalu.  Mungkin karena Pilpres 2014 hanya terfokus pada dua calon presiden. Kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi ikut andil dalam memanaskan pilpres kali ini. Saling serang, saling hujat, dan saling umpat menjadi biasa di media sosial. Perang opini juga terjadi di media elektronik dan media cetak, yang terbelah menjadi pendukung kedua calon presiden.

Pilpres 2014 melahirkan banyak  pendukung fanatik dari kedua kubu calon presiden. Fanatik artinya keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran (politik, agama, dsb).  Fanatik itu subjektif, bukan objektif. Subjektif artinya melihat suatu hal hanya berdasarkan rasa, bukan fakta. Fanatik itu emosional, bukan rasional. Di sini logika dan akal sehat telah mati, tercekik oleh emosi.

Dalam hal dukung mendukung capres, fanatisme  hanya bisa melihat kelebihan capres yang didukung, tanpa bisa melihat kekurangannya. Sebaliknya, fanatisme hanya bisa melihat kekurangan capres lawan, tanpa bisa melihat kelebihannya.

Bagi pendukung fanatikJokowi , yang terlihat hanyalah kelebihan Jokowi dan kekurangan Prabowo. Artinya apapun yang dilakukan oleh Jokowi akan terlihat baik, dan apapun yang dilakukan oleh Prabowo akan terlihat buruk. Begitu pula bagi pendukung fanatik Prabowo, yang terlihat hanyalah kelebihan Prabowo dan keburukan Jokowi. Artinya apa pun yang dilakukan oleh Jokowi akan kelihatan buruk, dan apa pun yang dilakukan oleh Prabowo akan terlihat baik.

Fanatisme ini sepertinya berlanjut walaupun pemilu presiden telah usai, dan Jokowi telah resmi menjadi presiden Indonesia. Para pendukung fanatik bermetamorfosis menjadi Jokowi liker (pro Jokowi) dan Jokowi hater (anti Jokowi). Para Jokowi liker selalu mendukung kebijakan Jokowi. Sementara Jokowi hater selalu menentang setiap langkah Jokowi.

Bagi rakyat Indonesia yang belum terjebak ke dalam salah satu kubu pendukung fanatik, ada baiknya berfikir secara logis. Artinya, dalam mendukung atau menentang kebijakan Jokowi janganlah membabi buta. Dukunglah jika kebijakan itu benar, dan kritiklah jika kebijakan itu salah. Jika meminjam istilah SBY, Tidak waton suloyo (tidak asal membantah).

Indonesia, 21 November 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun