Mohon tunggu...
Habib Nur Rahmatullah
Habib Nur Rahmatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya masih pemula

Saya memiliki hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Semarang: Kisah Kota Pelabuhan yang Berkutut dengan Genangan Air

16 Januari 2024   07:00 Diperbarui: 16 Januari 2024   07:06 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semarang, kota dinamis tepi Laut Jawa, menyimpan pesona sejarah sekaligus paradoks tak terbantahkan. Di balik gedung-gedung pencakar langit dan Pelabuhan Tanjung Emas yang sibuk, Semarang senantiasa bergulat dengan bayang-bayang air bah. Ya, banjir adalah tamu langganan yang kerap menyambangi kota tua ini, sebuah kisah berkelanjutan yang terjalin sejak masa lampau.

Jejak banjir Semarang mengular hingga abad ke-17. Catatan kuno Belanda menggambarkan bencana besar tahun 1672, air mengamuk menenggelamkan jembatan, menerbangkan perahu, dan merenggut harta benda serta rumah warga. Sejak dulu, Semarang memang ditantang oleh topografinya. Dataran rendah di utara berpelukan dengan laut, sementara perbukitan selatan bagai dinding penghalang air mengalir.

Pemerintah Hindia Belanda menyadari nestapa ini. Tak pelak, pada 1879, Banjir Kanal Barat (BKB) dibentangkan bak urat nadi baru kota. Kanal raksasa ini mengalirkan air hujan dari utara ke laut, meredakan dahaga Semarang akan solusi. Tak cukup sampai di situ, Banjir Kanal Timur menyusul dibangun pada 1890an, membentengi sisi timur kota.

Upaya Belanda berhasil meredam kemarahan air, tapi tak pernah benar-benar menaklukkannya. Hujan lebat sesekali masih menyibak celah, merendam jalanan dan mengusik ketenangan warga. Dan pada awal tahun 2023, air bah kembali mengamuk, ratusan rumah terendam, kota lumpuh, ingatan kolektif warga terusik.

Banjir Semarang bukan semata permainan alam. Jari jemari manusia turut menganyam kisah nestapa ini. Pemanfaatan ruang yang tak bijak, pembangunan di bantaran sungai dan daerah resapan air, bagai menutup telinga pada jeritan bumi. Sampah yang dibuang sembarangan mencekik parit dan kanal, air pun kehilangan jalan pulang. Suhu bumi yang meninggi, akibat ulah kita juga, membuat laut ikut pasang, memperparah drama banjir rob.

Semarang butuh lebih dari sekadar BKB dan BKT. Butuh solusi komprehensif, bukan tambal sulam. Pemerintah harus tegas, merancang ruang kota dengan bijak, mengembalikan sungai pada khitahnya, dan mengajak warga bahu membahu. Masyarakat perlu sadar, tak ada gunanya menyalahkan hujan jika parit penuh sumbatan. Swasta tak boleh hanya menjadi penonton, investasi ramah lingkungan bisa jadi pintu gerbang kedamaian.

Kisah banjir Semarang belum usai. Tapi, bukan berarti kita harus pasrah. Ada secercah harapan di tengah nestapa. Gerakan masyarakat, program pemerintah, dan kepedulian lingkungan perlahan menyibak awan kelabu. Mungkin takkan ada Semarang tanpa banjir, tapi bisa jadi suatu hari nanti, air dan kota ini tak lagi saling menyakiti, melainkan hidup berdampingan dalam harmoni.

Semarang, janganlah menyerah. Teruslah berbenah, ajak semua pihak bahu membahu, dan buatlah kisah baru, di mana kota dan air tak lagi bertarung, tapi bersatu dalam tarian kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun