Pembangunan infrastruktur merupakan Public Service Obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah. Pemerintah memiliki mandat memastikan adanya ketersediaan infrastruktur yang handal dan memadai karena peranannya yang sangat substansial dan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi suatu negara serta kualitas hidup masyarakat.Â
Berdasarkan artikel berita yang dikutip dari kompas.com, saat ini Indonesia memerlukan 500 milliar dollar AS untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur. Sedangkan anggaran yang disediakan pemerintah (APBN) belum cukup untuk membiayai seluruh rencana pembangunan. Dalam lima tahun (2015-2020) dana yang disediakan APBN diprediksikan baru mencapai Rp 1,178 triliun. Dengan kesiapan dana pemerintah yang terbatas mengakibatkan beberapa pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami kendala.
Salah satu permasalahan pembangunan infrastruktur yang sampai saat ini mengalami kendala di beberapa daerah di Indonesia adalah realisasi pembangunan BRT (Bus Rapid Transit).Â
BRT (Bus Rapid Transit) merupakan istilah yang digunakan untuk sistem transportasi umum yang menggunakan bus dengan penyediaan pelayanan yang lebih cepat dan lebih efisien daripada jalur bus biasa dimana sistem pengembangannya mendekati sistem rail transit. Konsep BRT telah banyak diterapkan di beberapa daerah di Indonesia sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan transportasi seperti kemacetan dengan perbaikan sistem transportasi publik.
Sedikitnya ada 16 kota di Indonesia yang sudah mengembangkan transportasi umum Bus Rapid Transit (BRT) antara lain Jakarta (TransJakarta), Bogor (TransPakuan), Yogyakarta (Trans Jogja), Bandung (Trans Metro Bandung), Palembang (Trans Musi), Semarang (TransSemarang), Pekanbaru (Trans Metro Pekanbaru), Solo (Batik Solo Trans), Trans Sarbagita (Denpasar), Padang (Trans Padang), dan Makassar (Busway Trans Mamminasata). Selain itu, berdasarkan artikel berita yang dikutip dari beritatrans.com beberapa kota lainnya seperti Medan, Surabaya, dan beberapa daerah di wilayah Indonesia Timur hendak menyusul membuat sistem transportasi yang sama.
Oleh karena itu, dibutuhkan dana yang besar untuk merealisasikan pembangunan BRT di Indonesia dimana untuk pembangunan BRT sepanjang 5 km saja dibutuhkan biaya US$ 5 juta.Â
Apabila pembiayaan pembangunan BRT hanya mengandalkan APBN, tentu saja tidak akan cukup. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dibutuhkan alternatif pembiayaan lain yang dapat mendukung realisasi pembangunan BRT di Indonesia. Adapun alternatif pembiayaan tersebut dapat dilakukan melalui Kerjasama Pemerintah – Swasta (KPS). Terdapat banyak bentuk Kerjasama Pemerintah – Swasta (KPS), salah satunya dengan BOT.
BOT (Build Operate Transfer)Â merupakan suatu konsep dimana sebuah proyek dibangun dengan pembiayaan yang sepenuhnya ditanggung oleh pihak swasta, atau kombinasi antara pemerintah dan swasta.Â
Dalam pembiayaan proyek dengan konsep inipun dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu pinjaman (debt finance)Â dan pembiayaan penyertaan (equity investment). Perbedaan konsep ini dengan konsep pembiayaan lainnya adalah terletak pada konsensi didalamnya dimana pihak pemilik akan menyerahkan pembiayaan hingga pengoperasiannya kepada pihak pelaksana proyek namun pada kurun waktu tertentu hasil proyek ini akan dikembalikan pada pihak pemilik dengan atau tanpa syarat sesuai dengan perjanjian yang tertera pada awal penandatanganan kerjasama.
Analisis yang dapat mendukung model KPS ini adalah dengan BCA atau Benefit-Cost Analysis yang merupakan salah satu metode yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk seleksi prioritas program, sehingga pemerintah tidak akan gegabah dalam penentuan dengan pihak mana akan melakukan kerja sama menggunakan konsep BOT.Â
Konsep ini menganalisa mulai dari kebutuhan terhadap pembangunan proyek tersebut, persyaratan minimum yang harus dipenuhi sebelum proyek tersebut direalisasikan hingga pada besarnya keuntungan yang akan diperoleh pasca pembangunan proyek tersebut. Sehingga dapat dihindari adanya proses yang terhambat ditengah jalannya pembangunan infrastuktur.