Mohon tunggu...
Demitri
Demitri Mohon Tunggu... Freelancer - Biarkan kata bicara

- Ibu rumah tangga. Suka utak-atik kata -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Gadis Petarung

13 Januari 2022   11:10 Diperbarui: 13 Januari 2022   11:14 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 06.00. Langit telah terang, tetapi biasanya tak ada orang duduk-duduk di bangku pinggir jalan sepagi ini. Kulihat seorang gadis berkaos biru duduk bersebelahan dengan gadis berkaos ungu.

Tampaknya terjadi perbincangan seru. Suara mereka lantang. Keduanya tertawa terbahak, saling sahut berbicara. Beberapa orang yang lewat menoleh mendengar gelak mereka, lalu melanjutkan perjalanan.

Aku tak dapat segera beranjak, walau sebenarnya ingin. Tugasku menyapu sepanjang jalan ini. Samar kudengar dua gadis membicarakan seorang lelaki. Rupanya lelaki itu pacar si baju ungu. Selanjutnya tak kuperhatikan. Bukan urusanku.

Terdengar dering telepon genggam, gadis berkaos biru menerima telepon. Belum semenit berlalu, terdengar suaranya meninggi. Keluar kata-kata tak menyenangkan dari mulutnya. Spontan, kuhentikan pekerjaanku. Gadis itu diam cukup lama. Wajahnya cemberut. Tiba-tiba ia memandang gadis berkaos ungu. Wajahnya memerah, tangan terkepal.

Gadis berkaos biru selesai menerima telepon. Didekatinya gadis berkaos ungu. Tangan kanannya mendorong keras bahu gadis berkaos ungu, disertai teriakan, "Tega kamu ya, nikung sahabat sendiri!"

 Gadis berkaos ungu terdorong ke belakang, lalu balas berteriak. 

"Apa maksudmu?!"

Adu mulut dan saling dorong terjadi. Orang yang lewat berhenti, atau tepatnya menonton. Mereka hanya diam terpana. Beberapa orang mendekat, tetapi seorang lelaki menghalangi. Orang itu mundur.

Saling dorong berubah menjadi saling jambak dan pukul. Teriakan kian kencang. Aku tak mampu tinggal diam. 

"Hei, berhenti berkelahi!" teriakku.

 Kulempar sapu, berjalan mendekati dan bersiap melerai. Dua orang di sebelahku menahan tanganku. Seorang di sebelah kiriku membungkam mulutku, hingga dada terasa sesak. Aku meronta sambil berteriak. Mulutku kian kencang dibungkam. Tepat saat aku berhasil melepas bungkaman, lelaki berkaca mata hitam di depanku berteriak, "Cut!!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun