Kasus korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa. Pelanggaran hukum ini hanya memperkaya segelintir pejabat atau pengusaha, di sisi lain, memiskinkan jutaan rakyat.
Untuk itu, Presiden Joko Widodo menilai kejahatan korupsi ini harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Kejahatan yang luar biasa harus diikuti dengan langkah pemberantasan yang ekstra.
Untuk memberantas korupsi itu, Presiden Jokowi telah menandatangani Inpres No. 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta Perpres No. 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Dalam dua kebijakan tersebut, Presiden ingin memperkuat posisi dan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga super-body ini harus diback up agar mampu menghadapi para koruptor.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menolak kemudahan pemberian remisi bagi koruptor, menunda RKUHP yang dibuat DPR RI, dan memberi reward Rp 200 juta bagi pelapor korupsi.
Langkah strategis di atas mampu membuat para koruptor marah dan tidak mendukung pemerintahan Presiden Jokowi. Mereka selalu berusaha menggerogoti usaha pemerintah dalam memberantas korupsi.
Diakui atau tidak, selama ini Pemerintah Indonesia sangat serius dalam pemberantasan korupsi. Hal ini juga dibenarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hingga kini, penindakan korupsi di Indonesia merupakan salah satu yang terkeras dibandingkan negara-negara lain di dunia.
Sementara adanya pandangan-pandangan yang melihat jika korupsi di Indonesia semakin marak, adalah karena makin intensifnya gerakan upaya penindakan korupsi, sehingga kelihatan makin banyak koruptor.
Inilah sisi lain keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi dalam menegakkan hukum dan mendukung total agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H