Mungkin dianggap wajar jika bank meninggalkan vendor yang dianggapnya mahal dan beralih ke vendor yang disangka murah. Namun ada sisi lain yang tidak boleh luput dari pertimbangan bank adalah apakah produk jasa yang mereka nikmati dari vendor yang dianggapnya menguntungkan dihasilkan oleh tangan tangan yang sudah hidup di atas standar hidup yang dianggap layak ?
Sebagian bank sepertinya sulit memahami bahwa kenaikan harga produk jasa oleh PT Certis, di dalamnya tersirat pesan kemanusiaan dari Gubernur dan Wagub DKI, Jokowi-Ahok yang imbas dan efek dominonya seharusnya tidak perlu dihindari. Menentukan pilihan di antara vendor vendor dalam area yang sama di saat menghadapi terjangan badai UMP yang sama pula bukan semata mencari celah untuk mendapatkan vendor yang berpeluang mengabaikan ketentuan UMP 2013 namun juga berpotensi membiarkan vendor yang menggaji pekerjanya di bawah UMP akan tumbuh dengan subur.
Sungguh ironis jika hal ini terjadi karena dibalik kemegahan gedung gedung aset properti milik bank yang megah atau iklan iklan berukuran jumbo yang hampir rutin dimuat di media cetak, digital atau iklan televisi long duration terdapat sekelompok anak bangsa yang memiliki peranan penting kualitas pelayanan perbankan, ternyata hidup di bawah garis kehidupan layak yang berharap mendapatkan jam jam lembur demi memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dengan mengorbankan tenaga dan jam tidur yang sedikit tersisa. Ditambah lagi dengan dampak kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan pemerintah 22 Juni 2013.
Akhirnya kita mungkin menarik kesimpulan yang berbeda beda namun bagi saya pribadi hanya bisa mendoakan semoga bisnis Certis tetap berkembang di belahan dunia lainnya karena dalam negeri saya sendiri sepertinya tidak punya ruang untuk bertahan hidup karena turut berperan dalam memberi ruang kesejahteraan hidup yang layak bagi pekerjanya di negeri yang katanya kaya dan subur ini.
Semoga pula menjadi pelajaran bagi pelaku usaha betapa riskan menggaji pekerja dengan upah minimum karena badai tuntutan hidup layak itu akan terus menghempas justru dari dalam tubuh perusahaan yakni dari pekerja itu sendiri yang hanya bisa meniti di batas zona hidup layak.
Tulisan ini dibuat bukan atas nama PT Certis, bukan pula atas nama karyawan dan serikat pekerja yang ada di Certis namun pandangan pribadi saya sendiri, mantan karyawan PT Certis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H