Aku menulis surat, tanpa alamat. Aku memang hendak tak mengirim surat, aku hanya akan menumpuknya di kotak surat tua yang kumiliki sejak umur dua belas. Akan ku tumpuk surat ini bersama dengan surat tanpa alamat lainnya.
Aku menulis surat, surat yang sama seperti yang sudah - sudah. Surat tentang rindu untukmu, yang tak lagi ingin ku bicarakan dengan orang. Lidahku sudah kelu, aku tak mau lagi ucapkan rindu. Aku hanya ingin menulis. Bibir sudah lelah berbicara, ingatan sudah lelah mengenang, sudah waktunya jari untuk menulis.
Aku menulis surat, surat tentangmu. Kuceritakan tentang kebencianku dengan kumismu, tapi tak kau gubris. Kemudian kau goda aku dengan kecupan dipipiku, menggelitikku dengan kumismu. Iya kamu, kamu dan kumismu, dulu.
Apa yang harus kulakukan?
Harus kulayangkan kemana rindu ini?
Mungkin saja kau sedang menggoda wanita lain dengan bibir dan kumismu. Rindu ini tidak akan pernah tersampaikan, seperti surat ini, tanpa alamat.
Kulipat surat, kutumpuk surat ke dua puluh empat. Satu, dalam sebulan. Kuletakkan dilemari dengan pintu berbunyi derat.
Aku sudah menulis surat, rinduku selesai seiring kulipat surat.
Meja kerja, diiringi lagu Anggrek Bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H