Mohon tunggu...
Washinton Dedy
Washinton Dedy Mohon Tunggu... Relawan - Orang awam

Hanya orang biasa, bukan siapa2....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dosen Dibunuh Bertepatan Hardiknas, Sebuah Refleksi Pendidikan Indonesia

3 Mei 2016   11:10 Diperbarui: 3 Mei 2016   11:26 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peristiwa berdarah bertepatan dengan  peringatan hari Pendidikan Nasional tahun 2016, seorang mahasiswa yang membunuh dosennya di lokasi kampus tentunya mengejutkan kita dan menambah deretan catatan kelam dunia pendidikan  di bangsa ini.  Berita yang bisa membuat orang yang mendengarnya merasa ngilu dan merinding. Bagaimana tidak,  di universitas berbasis agama muncul tindakan sadis yang di picu masalah skripsi, apalagi dilakukan oleh mahasiswa FKIP.

Ini kejadian  kedua dari kota Medan,   kota  ketiga terbesar di Indonesia dan barometer pendidikan  pulau Sumatera dalam 1 bulan terakhir yang menggegerkan kita dan menjadi viral di media sosial. Setelah sebelumnya muncul kasus siswi SMA yang melawan petugas ketika bermaksud menertibkan mereka usai Ujian Nasional berlangsung .

Kita sama-sama menyadari ada masalah akut yang harus segera diatasi yaitu  moralitas anak bangsa yang sedang terjun bebas, karena gerakan  zaman yang secara massif terus menggerus standar kebenaran dan nilai-nilai kehidupan mereka

Pemerintah sudah menyadari hal ini, namun terlambat diantisipasi.  Terbukti Kurikulum 2013 yang didesain untuk membenahi karakter siswa hingga kini masih dalam proses perbaikan. 

Tidak bisa dipungkiri kualitas guru juga harus segera di benahi. Program sertifikasi belum menunjukkan hasil signifikan terhadap perubahan kualitas guru.  Terbukti dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) belum menunjukkan perubahan yang berarti. 

Belum lagi kecenderungan “penyimpangan” yang dimiliki guru/dosen sebagai pemberi kontribusi utama pencoreng citra pendidikan  kita yang  tidak bisa di deteksi dengan  melakukan uji Kompetensi Guru misalnya perilaku asusila,  materialisme dalam proses belajar mengajar seperti jual beli nilai, kunci jawaban dan kelulusan.  Artinya guru menjadi penyebab mengapa ia tidak dihargai lagi oleh anak didiknya, karena keteladanan yang terus luntur.

Perilaku koruktif dari penyelenggara administrasi pendidikan nasional juga perlu dibenahi, bukan rahasia umum lagi jika segala urusan di kantor pemerintahan harus menggunakan uang pelicin seperti pengurusan surat pindah siswa, data sekolah, pencairan sertifikasi dan lain sebagainya.

Ini refleksi dari hari pendidikan kita, ada yang lebih parah dari sekedar fasilitas yang perlu dibenahi.  Yaitu evaluasi sistem pendidikan nasional yang menyeluruh dan  revolusioner  untuk mengimbangi dinamika zaman.  Istilah lainnya, kita harus melakukan “tobat nasional”, jika tidak anak anak tersebut akan menjadi masalah besar bagi bangsa ini pada masa mendatang.

                                             

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun