Mohon tunggu...
Dedy Marhaendra
Dedy Marhaendra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

tweeter : @demarhaendra

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Seorang Mahasiswa

16 Desember 2013   17:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:52 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13871889911845064269

Sepertinya kita sudah lupa dengan aktivitas kita saat itu. Saat itu ketika pemerintah mewacanakan harga bahan bakar minyak naik. Saat itu kita rela berpanas-panasan berjalan kaki menyusuri jalan malioboro dari taman parkir abu bakar ali. Sekitar 1,5 km hingga titik km 0 kota Jogjakarta.

Kita berkoar – koar sepanjang jalan meneriakkan aspirasi. Berteriak – teriak di depan gedung DPRD, memaki – maki para anggota dewan yang sebenarnya tidak salah. Sepulangnya dari sana suara habis. Untuk sekadar berbicara saja sulit. Tenggorokan tidak dilumasi air selama berteriak – teriak membangun semangat kawan – kawan. Maklum kantong – kantong mahasiswa.

Itu tidak sehari, dua hari, tapi beberapa hari. Saya masih ingat ketika saya dan beberapa kawan dari kampus tidak bisa pulang untuk sekedar tidur. Demi bersiap – siap jika sewaktu-waktu dibutuhkan di lapangan jika terjadi gejolak lebih luas. Waktu itu kobaran aksi perjuangan berbagai elemen muncul di banyak titik kota Jogja. Malam saat pengumuman kenaikan harga BBM adalah puncaknya. Kita marah. Kita memaki – maki. Seandainya di depan kita saat itu ada pak SBY bisa jadi kita lupa akan moral lalu kita meludahinya.

Sekarang, mungkin kita sudah lupa dengan apa yang kita lakukan saat itu. Atau bahkan tidak sadar dengan apa yang kita lakukan saat itu. Kita seperti tidak tahu mengapa kitaberjuang dan mengapa kita mengerahkan massa di jalanan. Kita seperti latah, tidak tahu alasan dan tidak tahu tujuan. Ibaratnya kita seperti robot yang bergerak tanpa tahu apa-apa. Robot tidak berpikir. Kalau kita seringkali mengkritik teman – teman kita di luar sana sebagai orang yang yang latah teknologi, latah fashion, kita harus mengakui kita latah gerakan. Sama – sama tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Dalam bahasa fenomenologi : kita ini sudah krisis.

Mungkin bukan itu. Saya salah. Mungkin emosi kita sudah habis. Dihabiskan di sepanjang jalan malioboro, terlampiaskan pada fasilitas umum, dan memaki – maki anak buah partai di gedung DPRD. Apa artinya aksi massa waktu itu. Apa artinya perjuangan kita itu. Apakah perjuangan kita (entah dengan cara apa) selesai saat harga BBM itu naik. Atau apakah perjuangan kita waktu itu hanya untuk mencegah harga BBM itu naik. Setelah naik (itu artinya kita gagal) ya sudah. Saya mengacungi jempol untuk pemerintah karena tepat sekali menilai aksi kita saat itu pasti hanya saat itu saja.

Begitu pula yang baru – baru ini kita lakukan lagi. Penolakan terhadap WTO. Saya mengikuti aktivitas kawan - kawan di berbagai media. Hampir di seluruh tanah air kawan – kawan mengadakan aksi. Setelah WTO usai, ya sudah. Kita balik kandang lagi dan mungkin juga tidak ingat dengan apa yang baru saja dilakukan.

Berbeda hal jika yang kita perjuangkan adalah substansi dari masalah yang ada. Kenaikan harga BBM dan WTO hanyalah bagian dari persoalan, persoalan yang semakin mencekik perut rakyat. Nasib mereka tidak selesai seperti harga BBM dalam satu tempo, sudah naik ya sudah, dan WTO yang hanya tiga hari. Hingga kini perut bapak – bapak pengayuh becak semakin tercekik. Beruntung mereka masih bisa mengayuh becak walau perut tercekik. Es teh manis untuk menghilangkan rasa panas dan menambah energi glukosa pun sudah mengalami kenaikan harga, apalagi nasi dan segala lauk pauknya demi menambah bahan bakar untuk mengayuh becak. Jika sumber tenaga untuk bapak tukang becak itu tidak terbeli olehnya habislah sudah nasibnya. Perjuangan kita akan berbeda jika yang kita perjuangkan adalah urusan perut rakyat yang hingga kini semakin tercekik.

Saat ini, kita sudah tidak lagi melihat pemerintah ada. Dimana mereka ? Mereka sudah tidak ada. Negeri kita sudah bukan lagi negeri auto pilot. Negeri auto pilot artinya kita masih punya sistem yang menggerakkan. Pemerintah negeri kita ini sudah tidak ada. Semua sistem rusak. Negeri ini sudah tidak ada yang mengurus, itu lebih baik dari pada negeri kita dirusak. Gita wiryawan lebih sering muncul di media sosial, sibuk mencitrakan dirinya. Menjelang pemilu april nanti para menteri yang lain tidak mungkin jika tidak sibuk mengurus partainya. Wakil Presiden, Boediono, kocar – kacir menghadapi kasus century. Presiden SBY pusing tujuh keliling dengan perkembangan kasus wakilnya dan kasus – kasus korupsi yang semakin mengarah ke Cikeas. Dengan berbagai jabatan di partainya, tidak mungkin SBY tidak sibuk mengurus partainya yang juga sedang acak adut.

Kondisi sudah tidak ideal. Pemerintah sudah tidak ada. Rupiah semakin lemah. Ekonomi siap – siap ambruk. Perdagangan bebas semakin hari membunuh industri dalam negeri. Kalau sudah begini, siapa yang harus mengingatkan. Sejarah membuktikan, biasanya kitalah yang mengingatkan. Sekarang, di mana kita mahasiswa ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun