Mohon tunggu...
Dedy Marhaendra
Dedy Marhaendra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

tweeter : @demarhaendra

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Antipremanisme Berpotensi Memecah Persatuan

9 April 2013   17:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:27 1574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai warga asli Jogja, berdomisili di Jogja dan sebagai mahasiswa di Jogja, saya merasa gerah dengan pemberitaan-pemberitaan terkait premanisme di kota Jogja. Saya khawatir pemberitaan yang semakin dalam ini justru akan memicu perpecahan masyarakat yang ada di Jogja.

Masyarakat yang ada di Jogja bersifat heterogen. Berbagai masyarakat dari sabang sampai merauke tumpah ruah di kota ini. Sebagian besar diantaranya adalah teman-teman mahasiswa yang masih berusia muda (silahkan nilai sendiri kedewasaan orang berusia muda). Mereka tinggal bersama dengan masyarakat pribumi asli Jogja. Menjadi satu tempat tinggal di satu kota.

Menjadi satu tempat tinggal bukan berarti menjadi satu dapat berbaur satu sama lain. Mereka hanya hidup satu kota. Kehidupan mereka terpisah, seperti ada tembok menjulang tinggi memisahkan antara masyarakat asli Jogja dengan masyarakat pendatang, terutama mahasiswa. Jadilah dua kelompok masyarakat ini terbentuk. Tidak ada Bhineka Tunggal Ika, yang ada hanya Kebhinekaan dalam satu kota. Mereka bersama dalam satu wilayah tapi tidak satu dalam kehidupan bersama. Mereka satu rumah tapi komunikasi antar mereka minim bahkan tidak ada.

Jejak sejarah hubungan kedua kelompok sebenarnya harmonis. Menurut para warga Sagan, kelurahan Terban, Yogyakarta, yang kampungnya hanya 5 menit dari UGM, mahasiswa sekarang sudah berbeda dengan mahasiswa dulu (red : tahun 80 – 90an). Dulu mahasiswa sering bergaul dengan warga. Mahasiswa-mahasiswa yang kost di kampung Sagan sudah biasa main di rumah warga, “ngajari” anak-anak kampung untuk belajar, bahkan ada yang sampai memacari salah satu warga dan akhirnya menikah. Salah satu tokoh yang dulu kost di Sagan adalah Ketua DPP Partai Golkar, Priyo Budi Santosa. Menurut warga, dulu Priyo kost di rumah mbak Joyo (alm), ia sering main ke rumah warga sekedar baca koran atau ngobrol dengan warga.

Sekarang kondisi hubungan kedua masyarakat sudah berubah. Interaksinya tidak seintim dahulu. Renggangnya hubungan kedua kelompok ini memicu persepsi-persepsi buruk antar kedua kelompok. Masyarakat pendatang mempersepsikan buruk pada masyarakat asli, dan masyarakat asli juga mempersepsikan buruk masyarakat pendatang. Hubungan kedua kelompok hanya sebatas hubungan ekonomi. Jika dibiarkan saja, hal ini akan membuat keduanya mudah dihasut dan diprovokasi.

Hati – Hati Dengan Slogan

Mencuatnya anti premanisme ini tidak bisa kita lepaskan dari peristiwa di Jogja. Momentum ini muncul di Jogja. Setelah peristiwa penembakan oleh oknum Kopassus di LP Cebongan dan kemudian disusul pengakuan oleh oknum tersebut, preman semakin dipersepsikan buruk. Situasi yang dialami preman ini tidak lepas dari aksi tokoh preman tersebut membunuh anggota Kopassus di Hugo’s Café dan stigma-stigma negatif akibat perilakunya. Ditambah saat itu SBY menyuarakan preman harus diberantas.

Di Jogja, keberadaan preman sudah diklasifikasikan menurut basis mereka, ada preman-preman kota, ada preman berbasis mahasiswa, preman berbasis siswa pelajar, dan preman berbasis etnis (M Najib Azca, Kompas). Sementara itu preman yang membunuh anggota Kopassus di Hugo’s cafe, yang kemudian juga dibunuh oleh Kopassus di Cebongan adalah preman yang berasal dari NTT. Menurut beberapa media di Jogja, genk preman tersebut juga menempati asrama mahasiswa NTT. Tidak heran jika kemudian sekitar 13.000 mahasiswa asal NTT merasa tidak nyaman setelah peristiwa tersebut meledak, terlebih setelah beredar isu swepping yang dilakukan beberapa pihak untuk mencari warga asal NTT.

Karena melekatnya identitas preman pada etnis dan mahasiswa pasca peristiwa tersebut, kita perlu sikapi kasus-kasus ini dengan hati-hati. Jika terjadi gesekan-gesekan lagi, perpecahan bisa benar-benar terjadi di Jogja. Warga tidak mau menerima lagi pendatang, dan habislah sudah.

Belakangan di Jogja banyak muncul slogan-slogan yang menggunakan spanduk dan kertas ukuran besar. Isi dari slogan tersebut menyatakan melawan premanisme dan mengapresiasi kejujuran penyerang di LP Cebongan. Slogan-slogan ini muncul menggunakan nama organisasi yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Ketakutan saya, masyarakat bisa terprovokasi dengan slogan-slogan tersebut dan bisa menimbulkan chaos akibat terakumulasinya perasaan buruk masyarakat asli pada pendatang, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Mulanya versus preman, tapi berpotensi merembet ke ranah etnis

Menurut saya lebih baik slogan-slogan terkait premanisme seperti itu diturunkan untuk menetralkan suasana kembali. Pemberitaan-pemberitaan mengenai premanisme juga diturunkan intensitasnya untuk menjaga psikologi masyarakat. Slogan dan pemberitaan-pemberiaan yang ada bisa menjadi provokasi bagi warga. Diam bisa membawa ketenangan ditengah keributan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun