Nepotisme menurut KBBI ialah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat, kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
Jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tepatnya di bab 1 pasal 1 disebutkan bahwasanya nepotisme merupakan setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Secara hukum, tindakan nepotisme sebenarnya dilarang untuk dilakukan oleh penyelenggara negara. Larangan nepotisme ini berarti melarang penyelenggara negara menggunakan atau menyalahgunakan kedudukannya dalam lembaga publik untuk memberikan pekerjaan publik kepada keluarganya, dikarenakan nepotisme dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Jika kita merujuk pada Putusan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) Presiden dalam Pemilihan Umum tahun 2024 yang mana dalam PHPU itu terdapat Dissenting opinion 3 dari 9 hakim MK. Perlu untuk digaris bawahi, Putusan PHPU tahun ini secara tidak langsung berhubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 90 Tahun 2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Dapat terlihat gugatan dari Paslon No.Urut 01 dan 03 yang terfokus untuk pemilihan ulang atau diskualifikasinya Calon Wakil Presiden No.Urut 02.
Hakim MK, Prof Arief Hidayat Menyatakan bahwasanya Putusan MK Nomor 2 tahun 2023 tentang adanya pelanggaran berat kode etik dalam pengambilan keputusan tidak bisa menjadi bukti yang cukup untuk meyakinkan Mahkamah, bahwa ada tindakan Nepotisme yang menyebabkan Abuse Of Power Presiden perubahan syarat pasangan Calon.
Jadi, Nepotisme dalam pencalonan Gibran tidak terbukti karena Gibran dipilih oleh rakyat  secara demokrasi sebagai Wakil Presiden. Sehingga ketika kita merujuk Putusan PHPU dan menganalisis substansi mengenai dugaan Nepotisme, maka ada pergeseran makna dari definisi Nepotisme itu sendiri.
Suatu jabatan politik bisa dikatakan nepotisme jika jabatan itu dipilih oleh rakyat meskipun Seseorang itu memiliki hubungan keluarga atau kerabat dengan pemangku jabatan diatasnya. Padahal potensi adanya Abuse of Power diindikasikan secara kekuasaan bukan secara hukum. Karena Jika kita hanya berorientasi secara hukum, maka zaman Orba pun mekanisme Pemilu, mekanisme Pemilihan jabatan politik itu sah secara hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H