Ini Sumbangan atau Politik Uang dalam Pemilihan Umum Indonesia
Oleh: Sadam Agusti Dwi Ardiyan
"Saya bakal coblos yang amplopnya paling tebal"
Saya sering heran dengan orang-orang yang bilang "saya coblos yang paling tebal amplopnya", dan saya rasa tidak hanya di lingkungan saya saja orang-orang yang berkata demikian. Ketika saya ngopi di angkringan pun tidak jarang saya temui bapak-bapak yang berpendapat serupa. Maka saya pikir jangan-jangan masyarakat kita ini yang memang suka politik uang, akan tetapi bukankah hal tersebut dapat ditindak pidana dengan tindak pidana yang diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum pasal 515 yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000,000,00 (tiga puluh enam juta rupiah), dan bahkan para praktisi memperhalus politik uang dengan sumbangan tanpa instruksi maupun akad untuk memilih calon tertentu. Jikalau memang sumbangan, bukankah hal itu berbeda dengan politik uang?
"Ah bukannya sama sumbangan dengan politik uang?"
Dalam kamus besar bahasa Indonesia sumbangan adalah pemberian sebagai bantuan, sedangkan politik uang adalah politik dengan menggunakan uang sebagai kekuatan. Jelasnya Politik uang merupakan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap. Singkat kata "Jual-Beli Suara". Dari sini kita lihat sekilas bahwa politik uang dengan sumbangan berbeda. Terkadang memang disamakan karena pemberi sumbangan adalah orang yang memiliki kepentingan supaya pemilih mengutamakan calon tertentu ketika pencoblosan.
"Entah budaya kita atau penyakit kronis demokrasi kita?"
Mungkin sudah banyak orang yang menyadari bahwa "ongkos demokrasi" itu mahal. Istilah ongkos di sini dapat dipahami apa adanya, yaitu sebagai biaya yang bernilai ekonomis. Negara dengan 273,8 juta (2021) lebih penduduknya ini, oleh beberapa kalangan telah diklaim sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Meskipun demikian, pemilihan langsung yang harus digelar untuk memilih pejabat publik mulai dari pasangan bupati/walikota, gubernur, dan presiden, sangat mencengangkan. Sebagian besar dari biaya ini harus ditanggung secara personal oleh para calon pasangan pejabat ini. Konon, untuk satu musim pemilihan pejabat tingkat bupati di pulau  Jawa, minimal harus bermodal sebesar empat milyar rupiah, terhitung mulai dari biaya resmi, semi resmi, dan tidak resmi. Belum lagi jika pasangan ini harus menyewa konsultan politik. Biaya dipastikan akan makin meningkat, seandainya urusan hasil pemilihan ini menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi. Saya pribadi tidak sepakat dengan politik uang karena sama halnya dengan menjual kedaulatan kita sebagai masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Akibat politik uang ini akan menjadi penyakit kronis dalam demokrasi seperti manajemen pemerintah yang korup dan merusak paradigma bangsa.Â
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 40% Masyarakat Indonesia menerima uang dari peserta pemilu 2019 dan 37% masyarakat Indonesia mengaku menerima uang dan mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Saya pernah menemui bapak-bapak di pos ronda mengungkapkan "siapapun yang jadi pejabat itu tidak akan terlalu mempengaruhi kehidupan kita". Sekilas saya sepakat dengan ungkapan ini, ketika saya pikir-pikir lagi masalah sebenarnya adalah pada masyarakat kita, mereka yang punya panggung kekuasaan dulunya juga seperti kita orang biasa, mungkin beberapa ada yang tidak seperti kita karena faktor tertentu.Â
Selama masyarakat kita masih minus satu pendidikan politik, selama itu pula para penguasa berikutnya akan seperti itu, toh para penguasa menyesuaikan pasar. Belum lama Ridwan Kamil di saluran YouTube youth tv menyampaikan "ada kelemahan demokrasi kita itu memilih orang yang disukai bukan memilih orang yang mumpuni untuk disukai nggak usah pintar, nggak usah cerdas, nggak usah mumpuni, pencitraan aja disukai makanya jangan kaget kalau mindset masih begini nanti yang terpilih orang-orang yang tidak punya kapasitas tidak bisa bekerja tapi pintar menarik hati masyarakat dengan tarian-tarian dan pencitraan".
"Kan Politik uang atau yang diperhalus menjadi sumbangan bisa meningkatkan daya beli masyarakat"