Ini adalah kali kedua aku bertemu dengan beliau, pertemuan yang tak terduga. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan mengunjunginya lagi. Mengingat penampilanku pada saat pertemuan  pertamakali, auuuhhhh... mengingatnya membuatku malu. Saat itu aku mengenakan celana jeans hitam, kemeja kotak - kotak dan krudung hitam. Buruk ? Menurutku yaa, bertemu dengan seseorang yang lebih dewasa bukankah harus sopan ? Saat itu usiaku belasan tahun. Seorang gadis yang sedang dimabuk asmara dan pikirannya sedikit tak dewasa, haruskah kuanggap wajar ? Tidak, sepertinya pemikiran itu tidak berlaku.Â
Dan kali ini jantungku berdegup dengan cepat, entah rasa gugup tak mau hilang sejak aku berangkat dari rumah. Banyak sekali pertanyaan yang terlintas dikepala "Bagaimana pendapat beliau tentangku ?" , "Perempuan seperti apa aku ini dimata beliau ?" atau "Apakah aku masih pantas datang kerumahnya ?" banyak sekali pertanyaan yang sliweran dikepala. Namun, semua itu tiba - tiba hilang seketika saat beliau menyapaku.
"Gimana kabarnya ?" tanyanya sembari tersenyum. Sebongkah es sepertinya baru saja mencair dikepalaku. Aku menjawab "Alhamdulillah, baik bu" lalu suasanya menjadi canggung. Laki - laki disampingku tersenyum, mungkin ia sadar bahwa aku merasa canggung dan yaa dia mulai mencairkan suasana. Kau tahu, laki - laki ini sangat mahir dalam mencairkan suasana yang canggung, Â ia adalah anak tertuanya sosok yang telah kukenal sejak aku duduk di bangku SMP. Setengah jam berlalu kami menjadi akrab, beda sekali pada saat pertemuan pertamaku dengannya. Aku lebih sering menatap tanah lalu diam.Â
Kami bercerita lalu bercanda, aku tidak tahu jika akan datang hari yang begitu hangat. Hingga tiba waktu anak tertuanya harus berangkat tugas, perempuan dihadapanku ini memeluk erat anaknya. Sekarang aku tahu, kenapa aku dulu bisa jatuh cinta pada sifat anaknya ternyata itu adalah hasil didikan perempuan hebat. Aku menatap ibudan anak yang sedang berpelukan itu, hatiku terasa hangat. Hingga aku tersadar beliau menangis. Dan yaa, saat itu aku bingung harus apa. Aku mengikuti beliau masuk , kalimat istigfar dan doa terus ia rapal sampai anak tertuanya berangkat. Dan sekarang hanya ada aku dan beliau.Â
Entah aku mendapat keberanian dari mana aku memeluknya, tak banyak yang kukatakan karena aku sendiri bingung apa yang harus aku lakukan. Butuh waktu beberapa menit hingga tangis beliau reda.Â
"Maaf yaa, ibu sudah berusaha  buat tahan ngga nangis tapi ngga bisa" katanya. Yaa, aku tahu bagaimana rasanya dan aku sama sekali tidak keberatan dalam hal itu.Â
Hari itu kami berbicara panjang lebar dan aku mendapatkan bocoran bagaimana sifat anak tertuanya tadi, sosok yang kukenal tegas dan hebat ternyata juga seorang manusia biasa yang punya nilai plus dan minus. Selain itu, ternyata beliau adalah sosok yang hangat. Sepanjang obrolan kami ia sisipkan nasihat, saran, dan candaan. Sesekali ia menggambarkan dunia setelah pernikahan, ia menjabarkan secara garis umum. Maksud beliau dengan siapapun aku nanti ia memberi gambaran untuk berhati - hati dalam menjaga diri. Rasanya senang sekali saat seseorang memintaku untuk tetap berhati - hati dalam segala tindakan.
Dan aku berharap kelak aku bisa berjumpa dengannya dengan durasi yang lama. Ada rasa aman dan tenang saat disampingnya. "Semoga Allah memberi beliau umur panjang dan selalu sehat" ucapku dalam hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H