Mohon tunggu...
Delta Mercia
Delta Mercia Mohon Tunggu... -

Pecinta dan pelaku seni musik, fotografi, dan tulisan, yang percaya pada kalimat "Bekerja adalah Cinta yang ngejawantah"...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sang Pecinta (Episode VIII)

20 Mei 2010   21:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:05 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wajah Helen sang permaisuri Menelaus, Raja Sparta sangatlah memukau hati Paris, sang pangeran Troya. Demi cintanya, Paris membawa lari Helen pulang ke Troya. Karena tindakan nekad Paris tersebut, Raja Menelaus sangatlah murka dan tersinggung karena Paris telah merebut lambang kecantikan yang dimilikinya. Kemurkaan dan ketersinggungan tersebut, pada akhirnya mengakibatkan dikirimnya seribu kapal perang Sparta, dengan tujuan menghancurkan Troya. Karena wajah Helen, seribu kapal perang terkirimkan."

Sambil menghela nafas, Mikhael melanjutkan, "Demikian pula dengan dirimu. Jika hanya keindahan wajah Helen saja mampu mengakibatkan terluncurnya seribu kapal perang, apalagi dirimu. Keindahanmu tidaklah semata bertumpu pada wajahmu saja, namun pada keseluruhan keberadaan dirimu sebagai manusia. Keseluruhan, keparipurnaan, kesempurnaan. Tidaklah menjadi suatu yang mengherankan, bila Tuhan sendiri merelakan Gabriel, Sang Penghulu Malaikat, Pembawa Pesan dari Surga, turun langsung ke bumi untuk menghantarkan Surga itu secara langsung kepadaku, agar aku bisa menikmati sendiri seperti apa kedamaian dan keindahan Surga itu, ketika aku bersamamu, Kekasihku."

Mikhael teringat pada sahabat sejawatnya dahulu, sesama Penghulu Malaikat, Gabriel. Berbeda dengan dirinya dahulu, yang ditunjuk Tuhan untuk menjaga Firdaus, dan memimpin peperangan melawan pelawan-pelawan Tuhan, Gabriel ditunjuk Tuhan sebagai pengirim pesan-pesan surgawi kepada seluruh mahluk. Tanpa dusta, Mikhael berusaha mengembalikan keseimbangan Ilahi, yang hampir saja dirusaknya akibat kecerobohan mulutnya.

Alexandria tersipu, kedua pipinya bersemu, wajahnya serasa menghangat. Betapa dia menyadari betapa dirinya amat dicinta oleh Mikhael, namun tetap saja setiap kalimat Mikhael tentang dirinya selalu membuatnya merasa seperti saat pertama kali dia mendengar kalimat tersebut. Betapa berartinya kehadiran Mikhael dalam kehidupannya, terutama dalam hati dan ciptanya. Keberadaan Mikhaellah yang membuat dirinya merasa, bahwa cinta sejati itu tidak hanya ada dalam khayalan para pecinta semata. Hati lembut Mikhaellah yang membuat hatinya yakin, bahwa cinta sejati itu bukanlah hanya buah pikir para pujangga belaka, yang mereka tuangkan dalam tulisan-tulisan bermanis kata, namun begitu mengawang dan tak terjangkau oleh lengan-lengan realita. Bagi Alexandria, Mikhael adalah pintu penghubung cita-cita akan cinta sejati tersebut, dengan dunia nyata. Bersama Mikhael, keindahan cinta itu telah mengejawantah, tiada lagi batas antara kenyataan dengan bayangan.

"Oh Kekasihku, terimakasihku yang tertinggi kunaikkan pada Sang Ilahi, atas anugerahNya kepadaku dalam bentuk dirimu. Begitu berartinya diriku bagimu, begitu indahnya diriku di ciptamu. Ketahuilah, bagiku, engkaulah perwujudan dari Cinta itu sendiri. Padamulah aku menyadari, bahwa Cinta itu ada dan nyata, lebih nyata dari segala kisah romantis yang pernah aku baca, lebih membumi dari semua puisi kasih yang pernah aku renungkan", kata Alexandria sambil kembali memeluk tubuh Mikhael, seakan memerintahkan setiap lubang pori-pori tubuhnya untuk mengatakan sendiri perasaan mereka masing-masing pada setiap lubang pori-pori tubuh Mikhael, karena seakan bibirnya tak sanggup lagi bertahan menjadi perwakilan dari setiap keberadaan dirinya. Seakan setiap kalimat terasa tak lagi bermakna, terlalu datar untuk menggambarkan begitu dalamnya kasihnya pada Mikhael. Mereka berpelukan begitu erat beberapa saat, begitu erat sampai seakan mereka berusaha menyatukan kedua tubuh tersebut menjadi satu keberadaan, di mana mereka tidak akan dapat teruraikan lagi dalam dua identitas, tidak dapat terlepas kembali dalam dua keberadaan. Tidak ada lagi Mikhael dan Alexandria, yang ada hanya satu keberadaan yang benar-benar baru, peleburan segala unsur yang mereka miliki sebelumnya.

Dalam keadaan selepas itu, tidak ada lagi satu sisipun dari Alexandria yang teringat dari mana dia sesungguhnya berasal. Tiada satupun sel dalam tubuhnya yang menyadari lagi bahwa dia terbentuk dari kemuliaan, kekayaan, dan kebesaran yang ada pada dunia awan dimana Ares, Sang Dewa Peperangan, yang menjadi penguasanya, dan Alexandria yang menjadi Puteri Mahkotanya. Dunia yang berbeda jauh dengan manusia. Dunia yang penuh kelimpahan, kekayaan, dan kebesaran, yang dengan mudah diperolehnya, cukup hanya menukarnya dengan kebebasan, kemerdekaan, dan kebahagiaan batin.

Mikhael merasakan betul kedalaman kasih sayang dari kekasihnya melalui pelukan tersebut, sebuah pelukan yang begitu kuat, namun juga begitu lembut. Sebuah pelukan keseimbangan yang juga hanya bisa disampaikan oleh pelaku yang penuh dengan aura Cinta dari Sang Maha Pencinta. Seketika, batin Mikhael begitu meluap oleh sesuatu yang belum pernah dia rasakan, terutama ketika dia masih menjadi Penghulu Malaikat. Luapan tersebut begitu kuatnya, sehingga sampai mewujud dalam satu kalimat yang seakan tak tertahankan lagi keluar dari antara kedua bibirnya.

Mikhael tahu, dia tak mungkin lagi menahan semua itu lebih lama lagi. Dia mengumpulkan kemantapan yang masih dimilikinya di kala memimpin Balatentara Surga. Keyakinan akan sebuah komitmen keabadian, dan segala konsekuensi yang menyertainya. Sebuah kepercayaan diri yang hanya mungkin timbul dalam sebuah hati yang matang oleh keberanian. Sebuah iman yang hanya mungkin berbunga dalam sebuah batin yang sangat menyadari, bahwa Tuhan akan selalu berjalan bersamanya. Sebuah Kekuatan, yang selalu percaya, bahwa dia berhak untuk mendapatkan impiannya. Sebuah kekuatan karakter Mikhael, yang diperoleh dari pembimbingan tangan kuat Sang Maha Perkasa selama ini. Dan kini, Mikhael menghembuskan kekuatan karakternya tersebut dalam satu helaan nafas, dan sebaris kalimat pernyataan kesungguhan hatinya:

"Alexandria, bersediakah dirimu menghabiskan sisa hidup ini bersamaku, Mikhael?"

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun